Kronologi Masuk Mikrobiologi

Banyak orang tentu sepakat lulus SMA adalah masa-masa krusial dalam hidup. Setidaknya begitulah bagi saya, yang beruntung punya pilihan untuk masuk ke perguruan tinggi. Bahkan mungkin sebelum lulus SMA. Masa paling galau mempersiapkan Ujian Nasional dan ujian masuk perguruan tinggi. Ah, urusan pacaran mah juga lewat ketika masa ini. Seringnya kencan sama buku latihan soal atau sama teman les.

Kalau diingat kembali, sensasinya begitu pelik dan rumit. Masuk jurusan apa, universitas apa, prospek kerjanya bagaimana. Sudah dipikirkan sampai pusing pun ya belum tentu masuk ke jurusan dan universitas tambatan hati. Makin saja membuat sakit perut dan pening kepala. Oleh karena itu di masa tersebut akan mudah tergoyahkan oleh testimoni-testimoni banyak orang;

“Mendingan masuk jurusan A di universitas B, kerjanya terjamin, banyak duitnya.”

“Kalau mau jurusan C mending di universitas D saja, dosennya bagus.”

“Mending kamu pilih bidang X saja, lagi dibutuhin banget zaman sekarang.” Dan lain sebagainya.

Yah, setidaknya itu lah yang terjadi pada saya yang galau ingin jadi apa. Sebenarnya saya ingin masuk Sastra Inggris, tapi Mamah menentang, katanya: “Zaman sekarang bahasa Inggris memang penting, jadi ya kamu memang harus bisa, tapi bukan berarti harus masuk Sastra Inggris. Pilih jurusan sains saja.” Ada benarnya juga sih.

Lalu kemudian Uwa saya bilang, mending pilih bidang pangan, selama ada manusia, pasti berkembang terus bidangnya, kan manusia butuh makan. Oh betul juga, dan lagi yang paling dibutuhkan sepertinya pemahaman pelajaran biologi dan kimia–mata pelajaran yang saya kuasai. Okey fix, daftar teknologi pangan di Institut Pertanian Bogor (IPB) yang memang terkenal jurusan teknologi pangannya.

Saya mencoba melalui jalur peminatan (PMDK), teet toot, ditolak. Saya mencoba melalui jalur ujian mandiri, teet toot, terpental ke pilihan kedua: Ilmu Keluarga dan Konsumen. Namun selama masa tunggu itu saya juga mempersiapkan diri untuk SNMPTN dan memilih masuk Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) di ITB dan Teknologi Pangan UNPAD.

Kenapa Memilih Mikrobiologi?

Kenapa saya memilih SITH sebagai pilihan pertama? Karena Paman saya menantang saya hahahaha. Paman saya yang dosen dan memang jenaka ini bilang, “kalau berani coba daftar saja ke ITB, di sana ada jurusan mikrobiologi, bisa juga jadi ahli di bidang pangan.” Jeng jeng jeng. Dulu saya agak bergidik mendengar ITB karena identik dengan jurusan teknik yang mengharuskan berkutat dengan berbagai hitungan rumit. Padahal mengerjakan soal Matematika IPA saat try out SNMPTN saja bikin mau menangis. Jadi ITB sama sekali tidak ada dalam pikiran.

Namun mendengar ada jurusan biologi dan bisa berkecimpung di bidang pangan juga, saya jadi tertarik. Ya, jadi modalnya memang cuma itu daftar ke ITB. Alasannya ‘hanya’ karena saya suka mata pelajaran biologi, dan menurut Paman saya ada jurusan mikrobiologi yang bisa menuntun saya berkarir di bidang pangan. Itu pun saya sangat pesimis bisa lolos. Jadi saya mencoba legowo saja menerima bahwa saya masuk pilihan kedua di IPB dan menjalani kuliah matrikulasi selama 3 minggu sebagai mahasiswi Jurusan Ilmu Keluarga dan Konsumen.

Selama tiga minggu itu saya merasa sungguh nyaman dengan kampus IPB, terutama dengan suasana asrama, tapi saya juga terus berdoa agar lulus SNMPTN, tapi saya tidak mau jadi mahasiswi UNPAD. Tanpa bermaksud mengdiskreditkan kampus tetangga, akibat mendengar rumor negatif soal kampus tersebut, saya mati-matian berdoa untuk tidak masuk kampus tersebut. Maka Allah kabulkan, saya lolos masuk SITH ITB di tahun 2010.

Gedung Labtek XI SITH-ITB, kami biasa menyebutnya Labtek Biru

Bagaimana reaksi saya ketika mengetahui kabar itu? Saya nangis bombay, nangis termehek-mehek. Bagaimana reaksi Mamah ketika saya kabari? Tidak percaya dan malah tertawa. Untunglah saya tetap dijemput pulang ke Bandung. Namun, usut punya usut, diterimanya saya di ITB juga sepertinya tak lepas dari doa atau keinginan di hati kecil Mamah yang ingin saya kuliah di Bandung. Jadi reaksi beliau ketika itu mungkin karena beliau sangat senang bukan karena ragu pada kemampuan anaknya. Mungkin..

So, what’s moral of the story? Nasib memang misteri Ilahi, dan benar adanya bahwa apa yang tidak kita sukai bisa jadi adalah sesuatu yang baik bagi kita.

Bagaimana Rasanya Kuliah di Jurusan Mikrobiologi?

“Kuliah di jurusan Mikrobiologi tuh belajar apa sih?”

Pasti tidak sedikit yang bertanya hal seperti itu karena jurusan mikrobiologi belum terlalu umum di Indonesia. Biasanya mikrobiologi jadi sub-jurusan biologi. Dulu, mikrobiologi sebagai jurusan terpisah baru ada di ITB dan UGM itu pun jurusannya Mikrobiologi Pertanian. Jadi wajar kalau belum banyak yang kenal jurusan mikrobiologi.

Awalnya merasa eksklusif tapi suka bingung juga menjelaskan ke orang. Kadang untuk mempersingkat penjelasan, saya bilang saya kuliah jurusan biologi, kalau bilang jurusan saya mikrobiologi saya loangsung tambahkan bahwa kuliahnya seperti biologi fokus pada bakteri, jamur, virus, dan makhluk-makhluk mikro lainnya.

lustrasi kerja di lab mikrobiologi (Foto oleh Edward Jenner dari Pexels)

Penutup

Dari tulisan ini bisa disimpulkan bahwa saya menentukan jurusan bukan karena passion atau merasa berbakat di bidang tertentu. Modalnya ‘hanya’ suka dan merasa mampu menguasai mata pelajaran biologi dan kimia. I have never been an advocate of passion, karena saya juga masih bingung kalau ditanya passion saya apa . Tetapi saya mendukung keputusan menjalani sesuatu yang disukai dan membuat bahagia karena menjalani kuliah yang diminati saja susah dan berdarah-darah, apalagi kalau kita tidak suka. Ya, saya juga memang tidak terlalu memikirkan dalam-dalam prospek kerja.

Metode ini tentu tidak ideal ya, menurut para pakar sih sebaiknya talent mapping terlebih dahulu, mengkaji minat, punya rencana jangka panjang mau jadi apa, atau bisa juga ditambah dengan mengkaji dari perspektif ikigai. Ah, tapi ya anak SMA (pada masa saya dan teman-teman saya) tidak banyak yang berpikir ke arah sana. Mungkin memang orang tua yang harus proaktif untuk memaksimalkan potensi anak-anaknya. Mungkin.

Namun, saya merasa keputusan dan rezeki menjalani kehidupan sebagai mahasiswa mikrobiologi sangat saya syukuri. Bukan rahasia lagi bahwa hanya sedikit alumni yang bekerja sesuai dengan jurusannya, at the end of the day, kuliah bukan cuma soal keilmuan yang didapat tapi juga prosesnya di dalamnya. Maka dari itu, menurut saya, meskipun jurusan tidak terlalu penting, mencoba masuk ke universitas bereputasi baik sangatlah penting walaupun tentu bukan segalanya. Jadi, Aiza boleh pilih jurusan apa saja, tapi harus coba ke ITB kalau memang ada jurusannya di ITB hahahahaha.

Intinya, yang ingin saya tekankan adalah tidak apa-apa memilih berdasarkan pertanyaan apakah ini sparks joy atau tidak, kalau ternyata proses dan hasilnya tidak sesuai ekspektasi, it’s not end of the world karena ya proses belajar kan tidak berhenti setelah lulus kuliah, apalagi sekarang kuliah dan belajar bisa dari mana saja.

Demikianlah secuplik kenangan kronologi dan masa-masa menjadi mahasiswa mikrobiologi ITB, semoga bisa diambil hikmahnya. Tulisan ini awalnya akan diunggah di bulan Maret dalam rangka merayakan Dies Natalis almamater tercinta sekaligus memenuhi Tantangan Mamah Gajah Ngeblog, tapi karena satu dan lain hal malah baru diunggah April huhu. Tak apalah, anggap saja menyemarakkan Pemilu IA ITB 2021 huehehe. Demi Tuhan, Bangsa, dan Almamater. Salam Ganesha.

7 thoughts on “Kronologi Masuk Mikrobiologi

  1. ‘mencoba masuk ke universitas bereputasi baik sangatlah penting walaupun tentu bukan segalanya’ ini sy setuju banget. Selain untuk menuntut ilmu, kuliah itu juga buat mengembangkan pola pikir, dan pola pikir seseorang bisa banyak dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.