Beberapa minggu lalu Pak Ustadz kurang lebih berkata, kalau dasarnya setengah hidup itu sabar setengahnya lagi bersyukur. Aku yang terpapar dengan buku cara mendapatkan kebahagiaan, bagaimana memiliki tujuan hidup dan berbagai aspek dasar kehidupan lainnya cuma bisa termenung.
Sampai sekarang, aku sering bulak balik corat coret sana sini mengenai nilai apa yang harus dimiliki diriku dan orang-orang tersayang dalam hidup. Kadang bisa satu halaman, dua lembar atau hanya tiga kalimat. Tapi semua cuma seperti angin lalu, dimana terasa segar beberapa detik kemudian sudah lupa kalau pernah ada udara yang lewat.
Sampai akhirnya, ku termenung cukup lama untuk mencerna yang Pak Ustadz bilang. Ya hidup pada dasarnya begitu, ada baik dan buruk, ada proses dan hasil, ada sukses dan gagal. Semuanya, bisa dapat membahagiakan dan mendewasakan kalau melalui filter sabar dan syukur. Kalau berproses ya bersabar sambil bersyukur, kalau hasilnya bagus ya bersyukur sambil bersabar. Tidak dipisah, karena rasanya akan berbeda.
Kadang yang buruk bukan hanya bersabar namun tetap harus dicicip dengan rasa syukur, karena masih sangat mungkin yang terjadi lebih buruk lagi.
Kadang yang baik bukan hanya bersyukur namun tetap terselip rasa sabar, karena menahan diri untuk tidak melakukan hal yang Allah tidak suka ketika kita bersuka ria adalah sabar juga.
Jadi layaknya yang Pak Ustadz bilang, sabar dan syukur bukan yin dan yang atau muka dan pantat koin yang berseberangan. Mereka seharusnya saling selalu bergandeng tangan untuk mengukir senyum atau memahat kerut, merayakan kemenangan atau memaknai kekalahan, dan mencintai proses sebesar hasil.
2 thoughts on “Sabar dan Syukur”