Technically, cuma Ayah sih yang kerja dari Bali hehe Ibu dan Aiza ngikut aja. Keputusan yang cukup mendadak dan membuat Ibu tercengang karena sebetulnya sudah ada beberapa agenda di bulan Desember, tapi Ayah tiba-tiba propose untuk tinggal di Bali selama 1 bulan.
Hal lain yang membuat Ibu agak bengong adalah karena sudah 2 tahun sejak kami pergi jauh bertiga saja, dan ini pertama kalinya kami bertiga naik pesawat. Oleh karena itu, menurut saya wajib didokumentasikan nih kehebohannya hehe.
Background Story
Sebenarnya Work From Bali (WFB) sudah menjadi cita-cita kami sejak Ayah mulai WFH. Tetapi terlalu buanyak pertimbangan makanya selalu tidak jadi, bahkan saking sering tertunda we didn’t think it was possible, until… Ayah menonton video dari kanal Youtube “Yes Theory” yang menginspirasinya untuk melakukan hal-hal impromptu dan rada impulsif yang biasa kami lakukan sebelum menjadi orang tua. 😌
Ah iya, sebetulnya kami awalnya berencana ke Yogyakarta, karena kami pikir biaya hidupnya lebih murah daripada di Jakarta. Namun, setelah survei akomodasi ternyata sama saja dengan Jakarta, bahkan lebih mahal daripada Bali, makanya kami memutuskan kenapa tidak ke Bali saja sekalian?
The Trip
Long story short, sejak diskusi singkat dari proposal tersebut kami mulai mencari akomodasi dan juga tiket pesawat. Soal tiket kami tidak terlalu pusing, kami mencoba mencari di beberapa online travel agent (OTA) dan memilih yang menawarkan potongan harga menarik. Kami mencoba Tiket.com, Pegipegi, dan Traveloka. Akhirnya kami memilih membeli di Traveloka karena ada potongan hingga 100ribu tanpa syarat dan ketentuan yang rumit, dan kami memilih maskapai AirAsia karena paling murah untuk keberangkatan hari Minggu jam 6.00 WIB.
Kami juga mengecek aturan terbaru pemerintah mengenai perjalanan melalui udara, serta peraturan dari bandara tujuan. Karena kami sudah divaksin 2 dosis, kami hanya diminta untuk menunjukkan hasil negatif dari swab antigen, sedangkan untuk Aiza harus melakukan swab PCR dan menunjukkan dokumen bahwa kami wali sah Aiza, yaitu dengan Kartu Keluarga, namun karena Aiza punya Kartu Identitas Anak, saya hanya menunjukkan itu ke petugas di bandara.
Oh, penting juga untuk diingat, sebaiknya memilih tempat tes yang bisa mengintegrasikan hasil tes kita ke aplikasi PeduliLindungi biar lebih praktis. Waktu itu kami melakukan tes di MyLab Kelapa Gading karena sedang ada promo dan proses pendaftarannya mudah, bisa melalui WhatsApp, hasilnya juga dikirim via WA dan surel. Khusus untuk hasil PCR Aiza, ternyata ketika sampai di bandara saya baru tahu hasilnya harus dicetak karena akan distempel petugas.
Hal tersebut cukup membuat saya kesal karena aturan itu tidak tercantum dimanapun, apalagi ketika itu saya sudah mau buru-buru check-in. Untungnya kita bisa mencetak hasil PCR di Pos Polisi Bandara dengan membayar sejumlah 10 ribu rupiah.
Saya yang panik sempat mengecek berkali-kali bagaimana prosedur check-in, aturan bagasi, memikirkan batas akhir check-in, dsb. Belum lagi memastikan semua barang bawaan sudah dikemas dengan rapi, aman, dan tidak ada yang tertinggal. Fiuh. Saya sampai sempat bersitegang dengan suami karena saya yang panik dan melakukan segala sesuatu dengan terburu-buru, takut kami telat boarding karena kami berangkat terlambat dari rumah.
Oh iya, check-in dan drop baggage itu dilakukan di counter yang sama, jadi prosesnya relatif cepat kalau bawaan kita tidak overweight. Hanya saja antreannya bisa jadi sangat lama tanpa kita duga. Benar saja, kami boarding saat sudah last call menuju ke pesawat.
The Housing
Untuk akomodasi, kami bergerilya ke banyak platform, mulai dari AirBnB, grup Facebook, menghubungi berbagai penginapan yang direkomendasikan teman, juga melalui pencarian tagar di Instagram. Kami menggunakan kata kunci seperti #kontrakanrumahbali #sewarumahbali #sewarumahmurahbali, dsb. Akhirnya dari hasil pencarian Instagram kami menemukan info promo Hikari Guest House yang sesuai dengan anggaran kami. Setelah menghubungi adminnya pun dibalas dengan sigap dan responsif, fasilitas dan dekorasi tempatnya sangat kami sukai sehingga kami memutuskan untuk tinggal di sini selama 1 bulan.
Lokasinya di Jalan Jatayu, tidak terlalu jauh dari jalan utama, yaitu Jalan Nakula dan Sunset Road, tapi jalanannya belum diaspal dan daerahnya sepi. Sepi merupakan nilai plus karena kami memang tidak terlalu suka daerah yang ramai.
Meskipun sepi, tepat di depan penginapan ada warung kecil, warung makan halal, dan laundry. Tempatnya juga cukup strategis, kita bisa menjangkau pusat perbelanjaan dengan mudah. Trans Studio Bali hanya berjarak 3 menit dengan motor, dan Mal Galleria Bali hanya sekitar 10 menit. Pantai Legian dan Double Six juga bisa dijangkau dengan mudah.
Fasilitasnya juga sangat baik, kamar sangat luas yang sudah dilengkapi dengan lemari besar, kulkas, kettle, TV 40-inch, meja rias, dan balkon, juga kamar mandi yang dilengkapi bathtub dan hot shower. Kolam renangnya juga cukup besar dan rutin dibersihkan. Rasanya seperti tinggal di kosan premium. Kamar kami juga dibersihkan seminggu 1x sesuai permintaan. Hanya saja kita harus menyediakan sendiri air minum dan listrik per bulan.
Oh iya, penginapan ini juga memiliki dapur bersama dengan peralatan cukup lengkap seperti kompor 2 tungku, alat masak dan makan, microwave, oven, dan kulkas besar. Di depan dapur ada area duduk yang nyaman untuk bersantap dan bersantai.
Penginapan ini juga menyediakan jasa penjemputan bandara yang cukup terjangkau hanya 100ribu, dan juga penyewaan mobil dan motor dengan harga yang reasonable. Saya menggunakan jasa penjemputan bandara karena tidak yakin bisa memesan taksi online dan tidak tahu tarif pasaran taksi bandara.
The First Impression of Bali
Kami datang ketika musim hujan, jadi cuacanya tidak terlalu berbeda dengan Jakarta, hanya saja udaranya lebih lembab, kekhawatiran saya soal udara yang terlalu panas langsung terpatahkan hehe. Selama perjalanan dari bandara ke penginapan, saya sangat terkesan dengan jalanan yang sungguh nyeni, banyak aksen khas Bali di sepanjang jalan.
Kami tinggal di daerah Seminyak yang menurut pendapat saya seperti kota metropolitan, jalanannya bagus dan besar, dan ternyata mencari makanan halal atau warung muslim cukup mudah. Menurut saya, suasana yang \”Bali banget\” sesuai ekspektasi itu saya temukan di daerah Canggu. Jalanannya kecil, tapi dekorasi bangunannya cantik dan lebih banyak orang asing. Banyak juga kafe fancy dan bar unik.
Akibat situasi pandemi, menurut penduduk asli, Bali sekarang sepi. Saya yang baru pertama kali ke Bali pun bisa merasakan kalau jalanan dan pantai cukup sepi, mengingat ini sudah mendekati liburan natal dan tahun baru. Tapi masih suka macet juga sih jalanan, terutama waktu kami ke pantai di sore di daerah Canggu.
The Challenges
Overall, tinggal di sini nyaman banget, akses semuanya mudah, hanya saja entah kenapa koneksi WiFi di penginapan sering bikin Ayah ketar-ketir apalagi kalau ada workshop atau rapat penting dan coworking space di sini mahal dibandingkan di Jakarta dan Bandung. Sinyal Telkomsel dan Indosat Ooredo pun kurang bisa diandalkan di daerah tempat kami tinggal. Setelah bertanya-tanya memang yang performanya bagus itu XL, tapi kami belum mencoba. Alhamdulillah kalau ada rapat penting Ayah diizinkan untuk numpang di kantor temannya (thank you, Kak Kathleen!).
Tantangan lainnya tentu saja adalah perubahan perilaku dan rutinitas Aiza. Dia sempat agak bingung kenapa kami di sini bukan di rumah Kokong dan Nyai-nya, perilakunya juga sedikit berubah seperti lebih clingy, lebih penakut, lebih cengeng. Ini pertama kalinya kami merasakan Aiza kesulitan beradaptasi hingga menunjukkan perubahan perilaku. Hal ini cukup membuat kami berdua cukup kelelahan.
Penutup
All in all, tantangan dan kehebohan yang kami lalui serta biaya yang kami keluarkan untuk bisa work from Bali sementara benar-benar sepadan dengan suasana dan sensasi baru yang kami rasakan di Bali. Kami bersyukur akhirnya memberanikan diri untuk membuat keputusan ini setelah sekian kali tertunda. Apalagi ternyata Aiza senang sekali bermain di pantai dan selalu excited pergi ke pantai. Happy-nya jadi berkali-kali lipat. Alhamdulillah.
Jadi, apa cita-cita kalian yang sebenarnya bisa tercapai tapi selalu tertunda?
Salam kenal Mamah Laksita. Wah ya ampuun, melongo saya dibuatnya ehehe. Work From Bali euy! Ini mah impian banyak orang (setidaknya beberapa orang sekitar saya pernah cerita mengenai impian ini).
Alhamdulillah puji syukur bisa menjalani kesempatan ini ya Laksita. Apalagi ada kolam renangnya segala, aduhhh. Mana bisa sebulan penuh foto-foto dengan background instagrammable pula ehehehe.
Makasiiy banyak atas informasi lengkapnya, dari A sampai Z-nya ya Mamah Laksita. Bisa menjadi acuan buat orang terdekat saya kalau nanti mereka akhirnya memutuskan fix untuk WFB.
Selamat beraktivitas dan semoga Aiza makin betah dan nyaman, tapi insha Allah selama ada Mama Papanya, anak pasti nyaman. 🙂
Wah seperti apa sih Yes Theory ini, jadi penasaran.
Seru ya impulsif begini, dengan balita tentu deg2an jadinya. Kepo juga rasanya menemani suami work-from-another-city, tentunya kota yang seru juga
Waaaaw bener-bener impulsif keren tehh. Work from Bali sekalian liburaan. Tapi kalau anak udah usia sekolah bakalan rempong yaa, kalau masih balita jadi seruuu. Makasih sharingnya tehh 🙂
wah ini impian saya juga Teh, work from Bali hehe. Kayanya karena pandemi ini, ngga ada turis asing jadinya harga akomodasi turun ya.
Seru, selamat menikmati bersama keluarga Teh.
ikuuuuuut ke Bali, hehe.. kebayang tapi bawaannya buat sebulan itu pasti serasa pindah rumah sebulan ya. Tapi emang pergi 2 minggu dan sebulan bakal sama saja banyaknya bawaan. Selamat menikmati Bali ya mbak!
Hebat ih bisa bawa balita lama2 ninggalin rumah… tapi mumpung masih kecil juga kali ya jadi harta dia yang dia pingin bawa belum banyak banget hihihi.. selamat menikmati kerja rasa liburan ya mbak…
waaahhhhh … pingin juga nih WFH di Bali kayak gini seru ya teh.
aku pernah WFH 2 bulan di Cirebon bareng anak bungsu online school juga september2020.
salam jalan-jalan …
Ih seru yaaa ikut suami kerja, di Bali pula. Jd mupeng, hehe.. Tp kebayang sih klo emak2 tuh pasti rempong aja bawaannya ya teh, apalagi bawa anak. Eh saya aja kali ya ini mah. Hahaa..
Cuma baru denger denger aja tentang WFB, ternyata bisa baca pengalamannya disini. Seru bangettt. Jadi kangen Bali. Terakhir kesana 10 tahun lalu. Asyik mungkin ya sepi. Tapi sambil miris juga kali ya karena pasti banyak banget yang terdampak pandemi.
Halo Teh, keren sharingnyaaa. Kesan yang saya dapatkan, saya jadi ingin ke Bali dan ingin melakukan hal impromptu juga terhadap hal yang saya inginkan karena sudah lama sekali. Dek Aiza asyik ya bisa sering ke pantai
Waaah setelah sekian lama dengar orang-orang WFB dan penasaran bagaimana tinggal di bali dalam waktu lama..terjawab sudah.hehehe.seru ya teh ternyata
Tetep jaga kesehatan ya…. Saya kok khawatir, masih pandemi gini udah pergi-pergi bawa anak juga.
Semiga selalu sehat semua ya