Sebenarnya sudah dari lama ingin menuliskan mengenai ini. Sejak menjadi orang tua dan selama 28 tahun menjadi seorang anak yang dibesarkan di budaya timur, saya jadi lebih bisa melihat dari kedua sisi hubungan orang tua-anak. Apalagi setelah berumah tangga, ketika sudah bisa dan harus membuat keputusan sendiri.
Budaya Konservatif dan Pengasuhan Toksik
Setelah dewasa dan berumah tangga, bukan tidak mungkin seorang anak memiliki value yang berbeda dengan orang tuanya. Gesekan pendapat dan kepentingan sangat mungkin terjadi. Namun, dalam budaya konservatif saya cenderung melihat bahwa diskusi dua arah jarang terjadi, orang tua selalu paling benar, orang tua sudah mengalami asam garam kehidupan, lebih banyak pengalaman, dan lebih tahu segala hal daripada anaknya. Titik.
Hal ini tentu tidak terjadi pada semua keluarga, saya yakin ada banyak keluarga yang demokratis, menganggap pendapat semua orang penting. Tetapi tidak dapat dipungkiri ada keluarga yang masih menganut prinsip yang saya jelaskan di atas. Saya merasa hal ini berakar dari kepercayaan atau kultur bahwa seorang anak wajib berbakti pada orang tua, wajib menghormati orang tua, dan bahwa seberapa keras pun kita mencoba kita tidak akan pernah bisa membalas budi pada orang tua kita. Bahwa seburuk apapun orang tua kita, kita tetap berhutang budi pada mereka. Jika orang tua berbuat salah kita wajib memaafkan tanpa syarat meskipun kata maaf itu tidak terucap dari mulut mereka.
Tidak ada yang salah sebetulnya dari semua pernyataan itu. Agama pun mengajarkan demikian, maka bagi seseorang yang beriman, harus kita yakini dan taati, bahkan bagi seseorang yang tidak beragama pun ini seolah menjadi common sense. But I think, somehow, those noble values are sort of twisted by society.
Fakta tersebut dipelintir dan diterjemahkan menjadi:
Menghormati = tidak membantah, percaya bahwa orang tua selalu benar, mengikuti semua kemauan orang tua, menuruti semua saran orang tua karena mereka yang paling benar.
Implikasinya adalah orang tua tidak pernah meminta maaf pada anak, mereka mengabaikan perasaan anak, to some extent they see their children as subhuman who knows nothing and incapable of feeling things, especially if those feelings are the aftermath of something they think right.
It may seem really harsh, but it’s true. Banyak orang tua yang mengabaikan perasaan anak, banyak orang tua yang memaksakan kehendak, mereka tidak pernah meminta maaf pada anak sehingga menjadi gengsi untuk meminta maaf. Si anak pun banyak yang akhirnya pasrah, tidak memperjuangkan haknya di hadapan orang tuanya daripada durhaka pada orang tua. Tidak menutup kemungkinan yang terjadi adalah sisi ekstrem lainnya, mereka kabur menjauh dari orang tuanya dan benar-benar jadi anak durhaka.
Padahal kalau dipikir-pikir, seorang anak tidak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia dan dirawat oleh orang tua mereka. Doa, perbuatan, dan usaha orang tua yang membawa seorang anak ke dunia. Merawat, mengasihi, dan mendidik merupakan bentuk tanggung jawab orang tua kepada Tuhan karena membawa seorang anak ke dunia. Menjalankan tanggung jawab tersebut akan menyelamatkan mereka dari api neraka.
Seorang anak diwajibkan menghormati dan berbakti pada orang tua yang menyayangi dan mendidik mereka. Pahalanya besar dan bisa mendapat kemuliaan. But it also goes both ways, right? Doa untuk kedua orang tua saja menekankan adanya timbal balik, “..sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku..”
Mematuhi Orang Tua Dalam Pandangan Islam
Polemik ini juga dijabarkan oleh Yasir Qadhi di laman Facebook beliau yang dalam tulisan yang berjudul “Obedience vs Kindness to Parents.” Dalam tulisannya beliau meluruskan himbauan yang biasa digaungkan para ulama untuk mematuhi orang tua. Menurutnya, meskipun mematuhi orang tua tentu saja adalah tindakan yang baik, perlu diingat bahwa istilah yang digunakan dalam Al-Quran dan Sunnah adalah ‘birulwalidayin’ (berbuat baik pada orang tua), bukan ‘ta’ah al-walidayin’ (mematuhi orang tua).
“…it is important to note that the primary term the Quran and Sunnah employ is not ‘ṭā’ah al-wālidayn’ (obeying the parent) but rather ‘birr al-wālidayn’ (being kind to one’s parents). This is extremely significant, as all too often, adult children are made to feel guilty if they don’t obey each and every request of a parent, even if it involves something unreasonable.”
Yasir Qadhi
Jadi, tidak menuruti kemauan atau larangan orang tua tidak serta-merta menjadikan kita anak durhaka. Namun perlu diingat, ada 3 hal yang menjadikan kita wajib memenuhi permintaan orang tua:
1. Meminta sesuatu yang bukan perbuatan dosa
2. Permintaan yang memang kebutuhan orang tua dan ada manfaat yang bisa mereka dapatkan dari permintaan tersebut
3. Permintaan tersebut tidak memberatkan dan merugikan bagi si anak.
Hal tersebut senada dengan kutipan yang juga disertakan oleh Yasir Qadhi dalam tulisan beliau:
“It is obligatory to obey the parents if they command something that is not a sin, and there is a benefit for them in that command, without any harm to fulfill it upon the son.”
Ibn Tamiyyah
Selanjutnya juga ditambahkan keterangan dari al-Qarafi yang menyebutkan bahwa sama halnya seperti seorang anak tidak boleh menyakiti dan membuat gusar orang tua, orang tua juga dilarang untuk menyakiti anak mereka.
“Just like the child cannot harm or irritate the parents, so too they are forbidden from harming or irritating the child.”
al-Qarāfī
Namun tentu saja perlu diingat ketika menolak permintaan orang tua harus dilakukan dengan cara yang lembut dan berhati-hati agar sebisa mungkin tidak menyakiti perasaan mereka dan tetap menghormati mereka. Intinya, beliau juga menekankan untuk menyeimbangkan tanggung jawab dalam kehidupan kita dengan keinginan orang tua. Berusaha sebisa mungkin mengikuti permintaan yang reasonable dan bermanfaat bagi mereka, serta tidak perlu merasa bersalah jika tidak bisa memenuhi segala keinginan dan ekspektasi mereka.
Bagaimana Memutus Lingkaran Pengasuhan Toksik?
Paparan di atas ditulis dari sudut pandang dan kedudukan saya sebagai seorang anak. Sebagai orang tua apa yang bisa saya lakukan?
Meskipun saya tidak mengalami langsung, this issues are really close to my heart and it get me thinking really hard, bagaimana caranya agar tidak menjadi orang tua yang seperti itu? Saya juga percaya orang tua yang masih menerapkan pengasuhan yang toksik tidak berarti mereka orang tua yang buruk atau sifatnya jelek. Mereka mungkin tidak tahu cara yang lebih baik karena orang tua mereka juga menerapkan prinsip yang sama. Oleh karena itu, kita sendiri harus secara sadar berusaha memutus rantai pengasuhan toksik ini.
Beberapa hal yang saya dapatkan dari membaca berbagai buku parenting adalah anak bukanlah gelas kosong yang tidak tahu apa-apa. Anak-anak membawa fitrah dan potensial, dan tentu saja kita mengharapkan mereka tumbuh pesat sesuai potensi mereka. Oleh karena itu, kita tidak boleh meremehkan anak, meski tentu saja kita tetap harus membimbing mereka dan mengarahkan mereka. Tidak lantas membebaskan mereka.
Menjadi orang tua yang otoritatif dan berempati pada anak bisa menjadi jalan keluar dari lingkaran setan toxic parenting. Bantu mereka mengenal emosi dan perasaan. Menurut pengalaman saya, dalam proses pengenalan emosi ini kita mengasah diri untuk lebih peka terhadap perasaan anak dan tidak meremehkan apa yang mereka rasakan, serta melatih kita untuk lebih teliti mengobservasi kebutuhan emosi anak.
Ajak mereka berdiskusi mengenai berbagai hal sejak kecil. Talk to your children as if they’re adults and entrust them with responsibilities. Trust them and they’ll trust you. Hal ini juga yang dilakukan oleh Esther Wojcicki dan beliau klaim sebagai rahasia keberhasilan membesarkan orang sukses. They may not understand now, but the habit sticks both to parents and the children. To trust each other, to talk things through, resolving conflicts with problem solving involving both parties.
Penutup
Pada akhirnya, yang terpenting menurut saya, baik orang tua maupun anak harus menyadari bahwa: they are simply reading and writing different books, so even though parents’ suggestions come from a good place and good intention, it’s not necessarily the best for the children and vice versa.
Oleh karena itu, sangat penting untuk menyadari suatu saat anak bisa jadi memiliki value dan pandangan hidup yang berbeda dengan kita, mereka bisa melesat melampaui kita dengan berbagai potensi mereka, dan kita sebagai orang tua tidak selalu tahu segalanya serta sangat sangat mungkin berbuat salah dan menyakiti anak dan wajib meminta maaf pada anak.
Tulisan ini saya buat sebagai bahan refleksi, renungan, dan pengingat bagi diri saya sendiri di masa depan untuk menjadi pemutus rantai relasi toksik orang tua-anak.
Featured Image: Photo by Call Me Fred on Unsplash
semangat mbaaa… peer besar buat kita untuk tidak menjadi toxic parents… terima kasih tulisannya menginspirasi sekali…
iyaa Mbak, betul PR-nya berat, harus semangat!
alhamdulillah. terima kasih sudah berkunjung
MaasyaaAllah, such a deep reflection on children-parents relationship. Terima kasih sudah berbagi lewat tulisan apik ini, Mba Laksita. Menjadi pengingat bahwa kita bukanlah the master of our own children, melainkan Allah, Sang Pemilik sesungguhnya. So, stop the “Do it as I say!” and instead “Do it as Allah please.” 🙂
alhamdulillah, samasama, Mbak. Akupun masih berproses Mbak, duh cocok banget kalimatnya, “Do it as Allah please” :”)
Nicely written mbaa..
Setuju sekali bahwa orang tua jangan segan/malu minta maaf pada anak ketika salah, begitupun anak..
Semoga Allah melindungi kita dari berbuat kesalahan2 sebagai orang tua.. karena terkadang orang tua (termasuk kita) tak menyadari kalau telah melakukan kesalahan..
Akan tetapi, sampai sekarang aku msh tidak setuju dg istilah “toxic parenting”.. wkwk..
terima kasih, Mbak. Iya Mbak, mau bagaimana pun berusaha pasti akan membuat kesalahan, yang penting kita sadar dan mau minta maaf.
Hoo, kenapa tidak setuju, Mbak? kesannya jahat banget gitu ya Mbak?
sangat setuju dgn tulisan ini mba. di sebuah kajian, sang guru juga berkata, sebagai anak kita hanya perlu berbuat baik pada orang tua. Kalaupun orang tua memperlakukan kita dengan tidak baik, dari kacamata kita sebagai anak, bukan hak kita untuk membalasnya. Sebaliknya, itu adalah urusan orang tua kita dengan Tuhan karena tidak mengasuh kita secara baik. Semoga kita terlindungi dari menjadi orang tua seperti itu.
aamiin aamiin aamiin Mbak, semoga kita terhindar dari menorehkan luka pengasuhan yang terlalu dalam sama anak, kalaupun ada semoga kita membekali mereka dengan kemampuan (dan doa) untuk mereka pulih
anak hidup di zaman berbeda dari orang tua jadi ya pola pengasuhan pun akan berbeda. Orang tua yang perlu keep up-to-date. It’s okay to make mistake, admit it, say sorry. Malah dengan meminta maaf, anak akan belajar ooh begini caranya jadi gentlemen. Idealnya begitu, hehe.
iyaa Mbak, betul, setuju banget, sesuai sama perkataan Ali bin Abi Thalib “Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian.”
Ada beberapa pengalaman dari orang di sekitar saya ini Mba.. di mana orangtua harus selalu benar, pada akhirnya efeknya baru terasa ketika dewasa. Anak-anak bisa menjadi seseorang yang sulit membuat keputusan atau ekstrimnya malah kembali menurunkan problem serupa pada anak-anaknya lagi. Butuh perjuangan memang memutuskan rantai seperti di atas ya Mba.. Thank you for sharing Mba, tulisannya komprehensif sekali..
Iya betul, Mbak, karena terbiasa diputuskan segala sesuatunya oleh orang tua jadi sering ragu membuat keputusan. Sama-sama, thank you for visiting Mbak, semoga bermanfaat hehe
banyak yah mbak yang seperti ini. Padahal kalau merujuk dari agama kita, islam mengajarkan kasih sayang. Inget hadist ketika rasulullah tidak sengaja diompolin sama seorang anak kecil. Ibunya merenggutnya dengan paksa, Rasul bilang baju yang kotor ini bisa dicuci tapi bagaimana dengan hati si anak ini. Beuh, itu cuma satu kejadian ngambil anak yang ga sengaja ngompol ya. Aplikasinya bisa luas nih kasih sayang kepada anak. Jangan sampai kita meninggalkan luka kepada anak, alih-alih ingin dihormati.
Iya Mbak, karena turun temurun seperti itu jadinya mungkin sulit dihapuskan. Aamiin semoga kita sama-sama dimudahkan untuk memutus rantai ini ya Mbak
Suka banget tulisan ini. Sejalan banget nih yang aku dan paksu terus berusaha untuk lakukan: mendidik anak tidak selalu sama dengan bagaimana kita dulu dididik. Kita ambil baiknya, dan kita tambahkan dengan lain lain yang baik. Buat aku, orang tua tidak selalu benar, pemikiran kita mungkin tidak selaras lagi dengan perkembangan zaman, dan karenanya tidak semuanya mutlak diikuti. Tapi, ada beberapa hal/nilai prinsip yang aku tekankan ke anak-anak, dan itulah gak bisa ditawar. Hal lainnya bisa didiskusikan bersama.
Quote ini aku suka banget: even though parents’ suggestions come from a good place and good intention, it’s not necessarily the best for the children, and vice versa. Bener banget. Makanya, apapun niat baik aku dan paksu, kita selalu terbuka untuk berdiskusi dengan anak-anak.
Tulisan ini ngingetin aku untuk terus konsisten dalam memberikan anak hak mereka untuk berpendapat. Thanks!
Terima kasih, Mbak Aily. Wah aku dapet insight juga nih jadinya, buat nentuin value apa yang akan diterapkan, mana yang bisa ditawar dan mana yang bisa didiskusikan.
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan insightful comment!