Ujian Tingkat Tinggi: Manajemen Rasa Bersalah

Ujian paling berat dan ilmu tingkat tinggi yang harus dimiliki orang tua tetapi tidak diajarkan di sekolah manapun, menurut saya adalah manajemen rasa bersalah. Kesulitannya sama tingginya dengan ilmu ikhlas, kalau menurut saya. Saya yakin baik ayah maupun ibu sering diuji dengan perasaan bersalah dalam proses mengasuh dan mendidik anak. Namun saya akan mencoba membagikan perspektif saya sebagai seorang ibu.

Topik mengenai manajemen rasa bersalah ini pertama kali saya baca dari blogger panutan saya, Mbak Puty Puar (@byputy). Saya baca tulisan beliau bertahun-tahun lalu ketika Aiza masih bayi. Namun begitu membekas hingga saya masih mengingat topik ini. Saya jadi ingin menuliskan sendiri topik ini karena perbincangan dengan orang yang dekat dengan saya.

Berbagai Macam Rasa Bersalah

Baik ibu rumah tangga maupun ibu bekerja, pasti banyak rasa bersalah terhadap anak. Kalau bekerja merasa tega karena meninggalkan anak, ibu rumah tangga merasa bersalah jika tidak bisa selalu menemani anak bermain. Ini cuma versi simpelnya saja ya, rasa bersalah yang dirasakan bisa jadi berbeda dan sangat kompleks untuk tiap orang.

Namun yang saya dan beberapa orang terdekat saya rasakan adalah rasa bersalah ketika harus menitipkan anak pada orang lain bahkan pasangan sendiri, rasa bersalah jika merasa lega bisa berada jauh dari anak, rasa bersalah jika bersenang-senang menikmati me time yang tenang. 

Rasa bersalah jika di rumah tidak bisa produktif, pekerjaan menumpuk, tetapi kurang optimal juga menemani anak. Rasa bersalah jika merasa dan mengeluh lelah. Rasa bersalah kalau kelepasan marah pada anak, dan masiiih banyak lagi.

Saya rasa ini pasti dirasakan hampir semua ibu, karena mungkin, mungkin yaa secara insting kita memang diciptakan seperti itu, otak kita didesain untuk menjaga dan mengurus anak kita, apapun yang terjadi. Tentu saja paradigma dan tuntutan sosial juga berpengaruh.

Padahal ya standar itu kita yang buat sendiri. Standar kebersihan rumah, rutinitas anak, standar pencapaian diri sendiri, bahkan terkadang standar pencapaian anak pun juga kita kaitkan dengan kemampuan atau prestasi kita sebagai orang tua. 

Kita kan memang paling jago bersikap keras pada diri sendiri. Baik itu dalam hal penetapan standar maupun kritik. Itulah mengapa manajemen rasa bersalah ini menjadi krusial.

Ujian Manajemen Rasa Bersalah

Untuk bisa lulus ujian mata kuliah manajemen rasa bersalah, kita dipaksa untuk melihat lebih jauh dan berpikir lebih dalam soal diri sendiri, lebih berkesadaran dengan apa yang kita rasakan dan kita butuhkan. Belajar untuk “egois” dan tidak memikirkan orang lain, dipaksa memikirkan diri sendiri, padahal sehari-hari otak dan hati rasanya secara otomatis langsung memikirkan kebutuhan pasangan dan anak-anak.

Kita dipaksa untuk menghentikan mode “Autopilot” dan berpikir sejenak, apa yang aku butuhkan. Ketika mengutamakan kewarasan juga kesehatan diri sendiri, kita dipaksa untuk mengganti kata “egois” menjadi “prioritas”. 

Kita juga dipaksa untuk mengenali apa yang ada di dalam dan di luar kendali kita. Apa yang bisa kita ubah dan tidak. Owning the blame and mistakes mindfully.

Ini sama sekali bukan sesuatu yang mudah karena bagaimanapun kita ingin waktu berhenti agar bisa beristirahat, rasanya pekerjaan datang tiada henti; cucian tetap menumpuk, piring tetap harus dicuci, anak-anak tetap perlu diurus, tuntutan itu tetap akan selalu ada.

Saya bisa membicarakan ini bukan karena saya sudah ahli, bukan. Justru saya juga masih berjuang untuk lulus dari ujian ini. Saya yang rajin mencatat siklus menstruasi saja masih sering lupa kalau saya sedang PMS dan lebih mudah jadi momster yang berujung pada rasa bersalah karena marah-marah pada Aiza dan orang sekitar.

Saya lupa bahwa saya yang sedang PMS akan berbeda dengan saya yang biasa dan itu tidak apa-apa, saya hanya perlu lebih sadar dengan kondisi fisik dan emosi saya juga melakukan tindakan mitigasi supaya tidak terlalu gampang meledak.

Senasib Seperjuangan

Saya menuliskan ini karena ingin mengingatkan diri sendiri dan teman-teman seperjuangan.

Whatever and wherever you are in your parenthood stage, it’s okay to think about yourself, as a matter of fact, it’s important to prioritise your needs. Contoh sederhana adalah ketika bisa mendapat waktu tanpa anak-anak, misal mereka sedang tidur siang, gunakanlah untuk kebutuhan kita walaupun hanya dengan leyeh-leyeh sejenak. 

Easier said than done, I know. That’s why it needs practice. But there’s no harm in putting off doing laundry or dishes for a nice long quiet shower or a sip of hot tea with your favourite TV show on.

Photo by Matias North on Unsplash

Lebih mudah dikatakan daripada dilakukan, ya kaaan. Makanya ini butuh latihan dan ilmu tingkat tinggi. Tetapi tidak ada salahnya kan menunda cuci baju atau cuci piring sejenak untuk menikmati mandi yang tenang dan sunyi, atau secangkir teh hangat sambil menonton acara kesukaan.

Ah, mudah memang kalau cuap-cuap teori dan berbicara seolah sedang mengobrol atau menasihati teman. Namun inti dari tulisan ini adalah mengingatkan dan bergandengan tangan dengan sesama orang tua bahwa sangat penting untuk mengisi cangkir cinta milik diri sendiri dulu, sebelum bisa menuangkan untuk orang lain. Hehe.

Cukup sekian cuap-cuapnya, dan terima kasih. Semoga kita senantiasa diberi kekuatan untuk bisa lebih berwelas asih pada diri sendiri, dan diberi kesabaran juga keikhlasan dalam menjalankan berbagai peran kita. Tentunya bisa lulus ujian manajemen rasa bersalah. Aamiin.

Salam hangat penuh cinta, dari Laksita yang masih sering diingatkan dan “dipaksa” oleh suami untuk me time. Suami yang juga masih merasa bersalah kalau me time :”)

HaaaIt’s a long journey, indeed.

#TaTiTaTu
#RBMIPJakarta
#Ujian

3 thoughts on “Ujian Tingkat Tinggi: Manajemen Rasa Bersalah

  1. Hallo mba Laksita, saya Tika, Terima kasih sudah mengingatkan saya dlm urusan PMS ini, saya juga sering kesulitan melewati hari tanpa perhatian seseorang dikala PMS, pernah suatu waktu saya me time ketika PMS makan bakso sendiri, dan itu terasa nikmat, walau hanya sekedar keluar 30-40 mnt

    1. Halo Mbak Tika, terimakasih sudah berkunjung~
      Iya setuju Mbak, kadang engga butuh waktu lama, yang penting waktu tenang sejenak buat diri sendiri. Aku juga masih belajar buat mengidentifikasi kapan aku butuh rehat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.