Guilty of Gluttony

Makan untuk hidup dan hidup untuk makan. Saya mengenal kedua istilah tersebut saat sedang membaca artikel mengenai MPASI dan pola makan anak. Then I came into realisation that after several years my eating habit and relationship with food had shifted!

Berdasarkan hasil interpretasi pribadi saya setelah membaca artikel tersebut, makan untuk hidup maksudnya hanya makan sedikit atau secukupnya, hanya sesuai kebutuhan alias irit makan. Sedangkan hidup untuk makan maksudnya adalah kegiatan makan dan snacking adalah bagian dari aktivitas favorit sehari-hari.

\"gluttony\"

Ketika merenungi kebiasaan makan dulu semasa belum menikah dan sekarang setelah menikah dan punya satu anak, kata yang terpikir adalah gluttony, yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah rakus. I have changed. Dari seorang yang biasa makan untuk hidup, menjadi seseorang yang hidup untuk makan. It\’s not like I eat all the time, ada saatnya malas makan, but somehow I eat big portion of main meals and I crave many kinds of food or snacks throughout the day.

Padahal dulu di keluarga besar, saya tersohor sebagai anak yang susah makan dan kalau makan sangat lama, maka tidak heran badan saya mungil. Saya lebih kurus dan lebih pendek dibandingkan adik saya yang selalu jadi kebanggaan mamah kalau urusan makan, karena tidak pernah susah diatur atau membuat mamah khawatir dan stres soal malnutrisi.

Hingga saya sudah mahasiswa pun mamah masih sering menyambangi kamar saya untuk menghentikan aktivitas saya dan mengingatkan untuk makan. Hal ini bisa beliau lakukan lebih dari sekali jika saya memang seharian di rumah. Selain keluarga, teman-teman dan pacar pun sering memarahi mengingatkan saya perihal pola makan saya yang mengkhawatirkan. Bahkan hingga saat ini, teman baik saya masih heran, bisa-bisanya saya sahur dengan sebatang coklat Bengb*ng, kalau dengan kurma sih sudah jelas ada tuntunan dan manfaatnya.

Semuanya berubah setelah negara api menyerang saya menikah dan kuliah di Inggris. Kebanyakan orang meningkat kemampuan memasaknya setelah tinggal di luar negeri karena terpaksa memenuhi selera lidah yang terlalu mencintai bumi pertiwi atau sekedar mengobati rasa rindu. Tetapi saya dan suami malah lebih sering beli makan di luar daripada memasak, kalaupun memasak hanya menu-menu sederhana. Kami berdua memang bisa dikatakan adventurous eater, selalu tertarik mencoba makanan baru sebagai pengalaman. Setiap kami singgah ke kota atau negara baru pasti kami mencicipi makanan atau jajanan khas kota tersebut dan mengabadikannya.

Kami juga seringkali mencari kenyamanan lewat makanan (yang dibeli), baik makanan gurih maupun manis. Setelah pulang dari Inggris pun saya berubah jadi sweet tooth, sangat suka makanan dan cemilan manis. Padahal sebelumnya saya jauh lebih suka makan gurih bertabur micin. Hal ini berlanjut hingga sekarang. Saya dan suami tidak pernah tergiur untuk membeli gawai terbaru atau barang fashion terkini, atau barang elektronik dan kendaraan yang tidak perlu atau tidak mampu kami beli secara tunai, sehingga alhamdulillah kami tidak punya cicilan atau hutang. Tapiiiii, kami sangat sering jajan dan makan di luar dan hal ini sejatinya sama berbahaya atau bahkan lebih berbahaya bagi cashflow bulanan. 🙁

Awalnya saya menyalahkan perubahan pola makan ini karena kehamilan dan fase menyusui, tapi setelah intensitas menyusui anak saya berkurang, nafsu makan tidak berkurang, malah semakin meningkat. Ternyata setelah dipikir-pikir, pola makan saya mulai berubah karena menyesuaikan dengan suami yang harus selalu makan tepat waktu dan biasanya 3x sehari, kemudian porsi saya sedikit demi sedikit bertambah karena selalu makan dengan suami, lama kelamaan kecepatan makan saya juga jadi mirip dengan suami.

Jadi biang keroknya adalah pernikahan. Hahahaha. Gak deng, suami saya sudah mulai memperbaiki pola makan, porsi nasi dikurangi, makanan manis dikurangi, rajin berolahraga, tapi saya masih begini-begini saja pola makannya.

Bagi banyak orang saya masih terlihat kurus atau agak berisi, dan lebih baik daripada badan saya dulu yang kurus seperti tengkorak. Tapi, mereka tidak melihat yang saya lihat; perut membuncit dan paha bergelambir. Saya rasa saya bisa dikategorikan atau berisiko menjadi skinny fat. 🙁

However, on the bright side, many research concluded that gaining weight after marriage may be a sign of happy and stable relationship ;). Perasaan aman, dukungan dan kepercayaan mengurangi tekanan dan stres sehingga nafsu makan meningkat. Bisa juga karena lebih senang menghabiskan waktu bersama, lenje-lenje dan dusel-dusel, gaya hidup berubah jadi lebih pasif, dan berat badan bertambah. Tapi hal ini hanya generalisasi, banyak juga kok pasangan bahagia yang hidup sehat. Makanya, hal ini tidak bisa jadi justifikasi untuk hidup tidak sehat. #toyordirisendiri 😀

Yah, pokonya, ini curhatan batin saya yang beberapa waktu ke belakang ini sangat heran dengan pola makan saya. Semoga jadi motivasi buat diri sendiri untuk mencapai target Zumba minimal 3x seminggu. XD

Sekian.


#Writober #Tema2 #Jajan

#RBMIpJakarta

#ibuprofesionaljakarta

2 thoughts on “Guilty of Gluttony

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.