Aku tidak tahu apakah ini aneh, atau sebenarnya banyak juga yang mengalami, hanya saja aku tidak tahu. Karena perasaan ini sempat bikin aku benci pada diri sendiri dan berpikir perasaan seperti ini tidak seharusnya ada.
Aku membicarakan soal perasaan iri. Iri pada suami. Iri pada pencapaian karir dan personal growth-nya. Perasaan ini juga lah yang jadi salah satu penyebab transisiku sebagai ibu jadi terasa sulit. Tentu saja, aku juga sempat membandingkan kehidupanku dengan teman-teman perempuanku yang lain, atau teman sesama ibu.
Akan tetapi, melihat kehidupan mereka tidak terasa menyakitkan atau menimbulkan rasa iri. Aku malah iri pada suamiku sendiri. Hhh… Judul sinetron saja tidak ada yang seperti ini. Perasaan macam apa ini?!
Sebenarnya perasaan ini sudah selesai diproses, I’m all good now, meskipun perasaan itu kadang muncul, but I can process it better. Alhamdulillah. Namun, aku jadi teringat lagi soal perasaan dan percakapanku dengan suami soal ini karena suatu episode dalam drakor yang sedang aku tonton, judulnya Love Next Door.
***SPOILER ALERT***
Long story short, tokoh utama perempuan, Bae Seokryu yang high achiever merasa inferior terhadap pasangannya, Choi Seunghyo yang baru saja mendapat penghargaan dari asosiasi profesinya. Padahal, Seokryu sedang menghadapi banyak kegagalan dan sedang dalam titik terendah dalam hidupnya. Hal ini berpengaruh terhadap hubungan mereka. Setelah melalui serentetan kejadian dramatis, Seokryu akhirnya menyadari perasaannya yang sebenarnya dan bagaimana dia harus menavigasi perasaan inferiornya.
Ini tangkapan layar adegan yang bikin aku mau nangis… I was like, I FEEL YOU, SEOKRYU!!!
Sama seperti Seokryu, Ita sudah belajar, we shouldn’t have felt inferior in the face of love. Hehe.
Proses belajarnya cukup lama dan melalui percakapan yang sulit. Begini ceritanya…
Kok malah iri? Memangnya tidak ikut bahagia?
Tentu saja aku ikut bahagia atas pencapaiannya, atas setiap perkembangan dan prestasi yang diraih. Namun, dibalik rasa senang dan bangga itu terselip rasa iri di sudut hati. Karena itulah aku jadi benci diriku sendiri. Perasaan macam apa ini?!
Kalau dipikir-pikir, aku merasa iri karena latar belakang kami mirip, kampus S1 dan S2 sama, bahkan sebenernya secara akademik aku lebih berprestasi. Bukan berarti aku lebih pintar ya, hanya saja kebetulan angka indeks prestasi yang tertera di ijazahku lebih tinggi. Mungkin karena aku lebih serius dan ambisius mengerjakan tugas dan ujian .
Aku merasa iri karena aku mau menelusuri jalan setapak yang dia lewati, tetapi aku tidak bisa. I literally enrolled to an Environmental Consultancy program for Master Degree. As we graduated, he was living my dream career, while I’m stucked as a stay at home mum. That’s what I thought back then.
Aku tidak bisa melakukan yang dia lakukan karena aku harus merawat Aiza.
Dia berlari mengejar mimpi dan passion-nya, tapi aku diam di tempat. Padahal Aiza anak kami, kenapa hanya aku yang diam di tempat?
Aku merasa iri karena katanya kita di kapal yang sama, tetapi kenapa hanya kamu yang bergerak maju?
Aku enggak mau mengakui perasaan ini karena… enggak masuk akal, masa iri sama suami???
Iri bikin berkelahi
Perasaan ini aku pendam karena aku menolak mengakuinya dan sesungguhnya aku malu membicarakannya. Sampai akhirnya terlontar juga. Sambil menangis tentunya. Aku bilang semua yang aku rasakan.
Aku merasa dia berprestasi, tapi aku enggak. Kamu produktif, tapi aku enggak. Kamu terus-terusan sibuk, tapi aku cuma sibuk mengurus Aiza. Sambil kerja kamu bisa sambil mendulang prestasi di berbagai bidang lain sementara aku cuma urus makan, main, dan buang air Aiza sepanjang hari.
Aku menangis sejadinya sambil misuh-misuh.
Namun, reaksi suami agak di luar dugaan dan ekspektasiku. Aku pikir dia akan kasihan, merasa bersalah atau minta maaf. Ternyata kami malah jadi bersitegang karena dia juga merasa agak kesal dengan sikap dan apa yang aku pikirkan.
Dia tidak habis pikir kenapa aku bisa berpikir seperti itu, karena buat dia kami ini sudah seperti tim. Dia berkali-kali meyakinkan bahwa dia enggak akan bisa sampai sejauh ini kalau aku enggak izinkan dan dukung. Diskusinya semakin meruncing karena kata-katanya malah mendukung narasi victim mentality di kepalaku yang bilang, “I gave up my freedom, so he can have his” which is not true at all.
Akan tetapi, si bodoh dan ngeyel Ita, tetap bersikukuh membantah. I refused to take credit for everything he has achieved. Karena menurutku, dia mencapai itu semua atas kerja keras dan dedikasi juga kecintaannya terhadap bidang yang dia tekuni.
Yang kemudian ditimpali:
“Kalau kamu enggak membebaskan aku untuk melakukan ini dan itu, kalau kamu enggak mengurus Aiza dengan baik emang aku bisa ngerjain semua itu dengan tenang?”
Sudah tertebak kelanjutannya apa?
Tentu saja, aku menangis lebih kencang.
Perasaan yang sesungguhnya
We had a very emotional conversation. Ternyata suami juga sempat enggak paham sama caraku menjalani hari. Dalam pandangan dia, aku kurang berusaha mencapai apa yang aku mau, aku tidak mempersiapkan tujuanku untuk bekerja dengan baik. Dia merasa seharusnya aku lebih disiplin dan melakukan kegiatan yang bisa mengasah skill untuk bekerja.
Ini juga bikin aku emosi karena kami mengurus Aiza tanpa bantuan ART atau pengasuh. “I could barely take care of myself, how am I supposed to achieve all that?” was my thoughts.
Tetapi setelah meluapkan apa yang aku rasakan, aku jadi paham apa yang aku mau dari percakapan sulit ini.
Suami sempat menawarkan aku untuk langsung melamar kerja atau ikut kegiatan ini-itu. Tetapi ternyata bukan itu yang mau aku dengar dari dia.
Ternyata aku cuma mau bilang bahwa aku kesulitan menyeimbangkan aktivitas menjadi ibu dengan aktualisasi diri. Dan sebenarnya aku cuma mau divalidasi bahwa aku enggak punya chance yang sama dengan suamiku. I missed my timing to pursue my career dan aku sedih gara-gara itu.
Perasaan ini begitu kompleks karena di satu sisi aku iri, di sisi lain aku juga mengakui kalau dia punya kualitas yang aku enggak punya yang bikin dia sampai di titik ini. Kalaupun aku diberi kesempatan yag sama belum tentu hasilnya sama.
Makanya, ketika diberi izin untuk melamar kerja dsb, aku langsung tahu bukan itu yang aku harapkan dari suamiku, atau percakapan ini.
Setelah mencurahkan semuanya dan mengatakan semua yang aku mau, dia juga menyampaikan pendapatnya, aku jadi merasa lebih lega. Kami meluruskan ekspektasi terhadap masing-masing dan juga mengapresiasi kontribusi masing-masing bagi keluarga kecil kami ini.
Apakah setelahnya jadi lebih mudah untuk berdamai dengan diri sendiri? Tentu tidak hehehe. Tidak langsung bisa berpikir positif, tapi aku punya “senjata” baru kalau pikiran buruk mulai muncul lagi:
“Akan ada waktunya untukku berkarya, aku juga berkontribusi besar bagi keluarga ini. Aku cukup, aku berharga meskipun tidak punya karya.”
Moral of the story?
- Gapapa iri sama suami karena, disadari atau tidak, dia sebenarnya blueprint dari manusia ideal versi kita. Meskipun terkadang ditutup kabut kekesalan kecil sehari-hari, tetapi kita bersedia dipinang karena dia manusia idaman kita kan? Hihi.
- Punya perasaan yang kontradiktif itu normal dan itu tidak apa-apa. Just embrace it.
- No matter how hard and complicated, feelings are meant to be felt. Perasaan yang bercampur aduk dan membingungkan tetap butuh dirasakan karena perasaan-perasaan itu berusaha memberitahu kita sesuatu, kalau disangkal malah tetap tidak ketemu akar masalahnya apa dan perasaan itu akan tetap ada.
- Hubungan dan peran suami-istri itu dinamis, enggak selalu 50:50. Adakalanya salah satu harus melakukan lebih dari yang lain, masing-masing ada capek dan tantangannya sendiri. Do not undermine your contributions, wins, and progresses no matter how small.
- Ini self reminder-ku yang hampir jadi mantra karena sering aku ulang, jangan takut untuk memulai percakapan sulit, jangan takut terlihat rapuh. Apalagi di depan orang yang sudah kita tunjuk jadi teman hidup.
Sekarang masih iri kah?
Seperti yang aku bilang sebelumnya, all iz well now. Alhamdulillah. Perasaan yang aku ceritakan di atas bisa dibilang sudah tuntas, aku enggak merasa menderita karena tidak bisa melakukan yang dia lakukan.
Namun tidak dipungkiri kadang aku merasa iri kalau dia bisa bepergian ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Atau terlibat di project baru yang menarik, atau ketika dia lebih bebas untuk bertemu teman dan berolahraga kapan saja tanpa harus mencocokkan dengan jadwal Aiza.
Hanya saja, sekarang lebih banyak perasaan bahagia dan bangga atas apa yang dia capai. Sekarang setelah Aiza besar juga aku merasa lebih banyak kebebasan dan pelan-pelan jadi diriku sendiri meski dengan peran, minat, dan rutinitas baru.
Life is exciting now. Alhamdulillah. Allahumma bariik.
How about you? What’s your struggle in navigating motherhood?