Tentang Persepsi Body Positivity dan Kesehatan

Aku dan suami pernah melakukan diskusi menarik yang membuat aku cukup berpikir keras. Mungkin diskusi ini dipicu oleh kedatangan barang yang sudah kami tunggu, yaitu “timbangan pintar” yang bisa menganalisis komposisi tubuh dan terintegrasi dengan ponsel pintar kita. 

Semacam alat yang ada di gym. Alat ini bisa mengukur rasio body fat, muscle mass, water content, bahkan bone mass. Bagaimana cara kerjanya? Akupun belum mencari tahu. Sesungguhnya ini cukup bizarre buatku, tetapi juga menarik. Mungkin nanti aku akan melakukan investigasi khusus mengenai cara kerja timbangan ini.

Balik lagi ke diskusi dengan suami. Diskusi ini bertopik body image. Tiba-tiba, suami bertanya dengan serius apa pendapatku tentang orang yang mengglorifikasi bentuk tubuhnya yang gemuk. Suami awalnya kurang setuju dengan tindakan glorifikasi yang sering juga disebut body positivity campaign, karena tidak dapat dipungkiri bahwa banyak penyakit yang dipicu oleh obesitas. Sehingga suami menganggap itu semacam toxic positivity yang bisa menyesatkan karenabisa berujung pada menjadi normalisasi obesitas, baik secara sadar maupun tidak.

Menurutku, ini sungguh pelik karena apapun bentuk tubuhnya, perempuan maupun laki-laki selalu memiliki rasa minder atau insecurity masing-masing. Gemuk, kurus, tinggi, pendek, semua memiliki stereotype dan kegundahan masing-masing. Namun memang ada stereotype yang lebih negatif pada orang-orang yang bertubuh gemuk, terutama perempuan, karena sering dianggap kurang menarik.

Dalam diskusi itu aku bilang kalau sebenarnya aku setuju ada body positivity campaign karena tidak seharusnya kita menghakimi seseorang berdasarkan bentuk tubuhnya. Dan semua orang berhak merasa menarik, and feel good about themselves. The least thing we want, let’s say for our kids or best friends, is hating themselves and having low self-esteem for what they look like, something that often out of their control.

Namun, tentu saja poin yang disampaikan suami juga ada benarnya. Karena kami tidak mau Aiza memiliki gaya hidup yang serampangan dan tidak memperhatikan pola makan juga pola hidup yang sehat.

Sehingga menurutku, jalan tengahnya adalah kalau mau melakukan body positivity campaign tetap harus menunjukkan bagaimana menjalani pola hidup sehat apapun bentuk tubuhmu. Jangan sampai glorify bentuk tubuh, tetapi tidak menjaga kesehatan. Hal ini menurutku kurang tepat, karena orang yang bertubuh kurus kalau kurang berolahraga juga malah lebih berisiko terkena penyakit kardiovaskular daripada orang yang masuk kategori obesitas tetapi aktif berolahraga.

body postivity
Apapun bentuk tubuhmu, bergerak aktif adalah sebuah keharusan (Photo by Gabin Vallet on Unsplash)

Masalahnya, terkait bentuk tubuh; kurus-gemuk ini cukup kompleks penyebabnya. Tidak sesederhana itu. Orang yang gemuk tidak berarti makan membabi buta tanpa berolahraga. Pun orang bertubuh kurus atau terlihat ideal belum tentu karena pola makan yang sehat dan rajin olahraga. Jadi, kita tidak bisa menghakimi seseorang hanya dari tampilan kasat mata saja.

Kita tidak tahu latar belakang medis setiap orang. Entah genetik, komposisi mikroflora perut, pengaruh hormon, konsumsi obat tertentu, atau ada penyakit yang menyebabkan seseorang sulit mencapai bentuk tubuh yang dianggap “ideal” oleh khalayak. Oleh karena itu kampanye tentang body positivity ini sangat penting bagi siapapun, tetapi tetap harus berimbang dan dibarengi kampanye hidup sehat.

Kalau pendapat kalian bagaimana?

body positivity
Semua orang berhak bahagia dan merasa menarik apapun bentuk tubuhnya (Photo by Antonino Visalli on Unsplash)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.