Aiza pernah beberapa kali mengutarakan kalau dia tidak mau jadi besar, mau jadi kecil terus biar sama Ayah dan Ibu selamanya. Sepertinya ini dipicu oleh percakapan Aiza dengan salah satu kerabat kami.
Entah awal percakapannya seperti apa yang jelas dari percakapan tersebut Aiza menyimpulkan kalau Aiza semakin besar (dewasa), Ayah dan Ibu akan semakin tua lalu meninggal. Sejak saat itu sering terlontar ucapan Aiza tidak mau tumbuh besar. Terkadang hanya ucapan lalu, terkadang dalam bentuk luapan emosi yang intens.
Waktu Aiza bercerita soal percakapan itu, respon saya pertama kali adalah menjelaskan bahwa makhluk hidup pasti meninggal dan tidak selalu saat usianya sudah tua, ada pula adik bayi yang Allah takdirkan meninggal. Tentu saja respon pertama Aiza adalah denial.
“Tapi Aiza enggak mau Ayah dan Ibu meninggal……”
“Ayah dan Ibu juga maunya sama Aiza terus sampai selama-lamanya, tapi kalau Allah putuskan sudah waktunya, kita tidak bisa berbuat apa-apa…”
Ini membuat saya dalam dilema, di satu sisi ingin menerima perasaan Aiza, di sisi lain saya merasa ini kesempatan untuk belajar dan diskusi mengenai topik sulit. Saya tidak menyangka ini akan menjadi ketakutan yang sangat besar untuk anak seusia Aiza. Meskipun tidak dipungkiri saya juga memiliki ketakutan yang sama dulu, tetapi rasanya tidak di usia semuda Aiza.
Mental Breakdown Setelah Masuk Sekolah
Setelah masuk ke sekolah, ketakutan ini sepertinya semakin menjadi. Pernah suatu kali, setelah pulang sekolah, saya meminta Aiza untuk beristirahat dan tidur siang karena khawatir Aiza terlalu lelah dan overstimulasi yang berujung tidur malamnya kurang berkualitas.
Dengan enggan dia tetap tidur siang setelah dibacakan buku. Setelah bangun tidur siang, tiba-tiba Aiza melontarkan pertanyaan yang mengejutkan.
“Bu, kalau kita berdoa sama Allah untuk jadi kecil lagi bisa enggak sih, Bu? Bisa enggak Aiza enggak tumbuh besar walaupun Aiza tidur siang dan makan?”
“Sayangnya tidak bisa, Aiza. Allah Maha Kuasa, tetapi Allah sudah menetapkan aturan-Nya, kalau manusia bertumbuh tidak akan menjadi anak kecil lagi. Memangnya kenapa?”
*(mulai menangis)*
“Kalau Allah enggak bisa, terus siapa yang bisa? Aiza enggak mau tidur siang, Aiza enggak mau jadi besar, maunya sama Ayah dan Ibu terus, enggak mau Ayah dan Ibu meninggal.”
Tangisannya mulai tidak terkontrol dan tidak bisa ditenangkan, sehingga saya tidak berusaha menjelaskan apa-apa, hanya berusaha menerima perasaannya dan terus berkata Ayah dan Ibu juga sayang sama Aiza dan mau bersama Aiza selamanya.
Tangisannya baru berhenti ketika saya berjanji tidak akan memaksa Aiza tidur siang lagi, dan mengajaknya membuat puding bersama.
Ketakutan yang Tidak Masuk Akal
Rasa takut Aiza ini mungkin mirip dengan orang yang mengidap thalassophobia, orang yang takut terhadap air dalam jumlah yang banyak, dan bisa terpicu rasa takutnya ketika melihat gambar laut yang dalam. Bagi orang lain rasa takut tersebut masuk akal, tetapi reaksi yang berlebihan bisa jadi agak di luar nalar orang biasa.
Misalnya, sebagian besar orang tentu akan kagum melihat gambar laut dengan beranekaragam hewan juga terumbu karang, sementara orang yang menderita thalassophobia akan menjadi cemas. Meskipun kurang apple to apple mungkin ketakutan Aiza juga bisa dianalogikan demikian, ketika anak lain tidak sabar ingin menjadi besar, Aiza malah mau jadi anak kecil terus, bahkan kalau bisa jadi bayi lagi katanya.
Namun, menurut saya, rasa takutnya ini sulit untuk diatasi selain memberi pengertian dan membiarkan Allah memberikan ilham seiring berjalannya waktu. Because no one can prepare you in losing someone you love. Tidak ada jalan lain menerima perasaan Aiza, memberi pengertian di saat dia tenang and let Allah do the rest.