“Matilah engkau mati. Kau akan lahir berkali-kali…” – Soetardji Calzoum Bachri
Akhir tahun 2024 adalah awal eksplorasiku terhadap sejarah Indonesia melalui karya fiksi. Buku jenis ini sama sekali bukan genre-ku. Biasanya aku membaca buku fantasi, thriller, atau romansa dan (dulu) aku orang yang termasuk apatis pada politik dan sejarah Indonesia. Belakangan aku tertarik untuk “belajar” sejarah lewat karya fiksi, karena sejak masa kampanye pemilu 2024 aku cukup banyak diskusi dan mengonsumsi berita politik karena pengaruh suami.
Aku juga penasaran membaca buku Laut Bercerita karya Leila S. Chudori karena sudah sering disebut-sebut oleh teman-temanku yang gemar baca buku.

Untungnya, bukunya ada di Perpustakaan Jakarta, jadi aku langsung pinjam dan selesaikan kurang dari sebulan. Buku setebal sekitar 400 halaman itu aku lahap dalam sekejap, tidak seperti buku-buku yang lain.
Buku ini berlatar belakang masa Orde Baru yang menceritakan perjuangan menegakkan demokrasi oleh sejumlah mahasiswa dan aktivis. Buku ini sepenuhnya fiksi, tetapi karakternya “diramu” dari korban-korban tragedi 1998 yang hingga sekarang belum ada penyelesaian kasusnya. Dan beberapa kejadian sepertinya memang ditulis berdasarkan kejadian-kejadian yang terjadi di masa pergolakan saat itu, baik berdasarkan berita maupun testimoni.
Kejadian yang dimaksud adalah pembungkaman aktivis, penangkapan, penyiksaan, pengintaian, penculikan, bahkan pembunuhan oleh aparat atas nama membela kesatuan dan keamanan negara.
Buku ini dibagi menjadi dua bagian; bagian pertama ditulis dari Biru Laut, mahasiswa yang dihilangkan dan dibunuh oleh aparat dengan linimasa sebelum tahun 1998. Sedangkan bagian kedua ditulis dari sudut pandang Asmara, adik Biru Laut, dengan linimasa setelah tahun 1998 dan fokus pada keluarga korban.

Kesan membaca cerita “Biru Laut”
Sungguh sulit sekali rasanya meletakkan buku ini meskipun banyak perasaan yang tercampur aduk selagi membacanya. Hal pertama yang terpikirkan setelah selesai membaca buku ini adalah:
Ternyata ada pahlawan yang bukan hanya tanpa tanda jasa, tetapi juga dihilangkan paksa dan kisahnya seperti tergilas masa. Selama 17 tahun, seolah terlupa dan belum pecah juga misterinya.
Buku ini membuat aku tercekat, menghela napas, dan menangis. Hancur rasanya membayangkan anak-anak mahasiswa itu diculik, disiksa, diperlakukan tidak seperti manusia, dan bahkan dihilangkan nyawanya.
Dulu, seusia mereka, aku sibuk memikirkan tugas kuliah, skripsi, atau rencana masa depan. Mana pernah aku memikirkan nasib negara, dan nasib demokrasi. Tidak terbayang bagaimana rasanya harus hidup mengendap-endap untuk menghindari “lalat” (sebutan mereka untuk intel), jauh dari keluarga, sahabat, dan kekasih.
Kenapa aku bilang mereka pahlawan? Karena dari yang aku pahami lewat buku itu dan sedikit memoriku soal kejadian di tahun 1998, pergerakan mereka berhasil mengguncang rezim yang sudah terlalu lama berkuasa. Keruntuhan rezim ini memberi napas baru pada demokrasi Indonesia, meskipun hingga 17 tahun kejatuhannya masih terpatri warisan buruknya.
Dan aku merasa kita memetik hasilnya sekarang. Dulu mana ada yang namanya citizen journalism, semua berita dikontrol oleh pemerintah. Buku-buku berbagai idealisme beredar bebas dan mudah diakses. Lagu, film bebas beredar bukan hanya film dan lagu berisi doktrin atau yang sesuai sensor ketat untuk melanggengkan rezim.
Mari berharap kebebasan ini terpelihara mengingat saat ini mulai banyak hal-hal yang… Ah, ya begitulah…
Namun sayangnya, tidak demikian untuk keluarga yang ditinggalkan. Mereka masih menuntut keadilan dan pertanggungjawaban pemerintah. Hingga saat ini.

Kenapa penting untuk membaca karya fiksi berlatar sejarah?
Sebenarnya waktu SMA aku sudah pernah membaca buku berlatar belakang sejarah Indonesia, yaitu “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer, tetapi saat itu aku belum menangkap gambaran besar dan esensi dari novel itu. Aku juga belum paham signifikansi dari karya beliau ini.
Aku hanya melihat tokoh Annelis dan Mingke sebagai karakter fiksi di latar dongeng, seperti novel pada umumnya, tidak ada hubungannya dengan realita sejarah Indonesia, atau latar belakang penulisnya yang sempat dianggap “problematik”.
Setelah membaca buku karya Bu Leila, baru aku menyadari bahwa karya seperti ini sangat penting untuk mengisi kekosongan dari pelajaran Sejarah di sekolah. Pelajaran yang tidak banyak diminati, pelajaran yang bagiku hanya berisi muntahan “fakta” untuk dihapalkan, pelajaran yang menggambarkan tokoh dan peristiwa seperti khayalan tanpa ruh, angka tanpa nyawa, dan tulisan tanpa makna. Dingin dan kaku.
Tokoh-tokoh dalam karya fiksi ini lebih hidup dan bernyawa dari tokoh yang aku tahu lewat pelajaran sejarah. Aku bisa ikut merasakan sedih dan sesaknya penderitaan memperjuangkan yang mereka percayai. Karya-karya ini memberi konteks manusiawi dari peristiwa sejarah, memberi makna yang jelas kenapa peristiwa kelam ini tidak boleh dilupakan.
Karya-karya ini, meminjam istilah dari Hindia dalam lagunya, adalah usaha merawat dan menebar cerita sejauh mungkin. Cerita yang bagi kita mungkin hanya sekedar cerita, tetapi bagi keluarga yang terdampak mungkin masih seperti peristiwa kemarin sore; masih segar di ingatan, masih nyeri di dada, tanpa ada penyelesaian yang jelas.
Jadi, menurutku membaca karya fiksi berlatar sejarah dan menggali lagi peristiwa yang tidak dijelaskan dalam buku sejarah adalah hal paling sederhana yang bisa kita lakukan agar peristiwa kelam ini tidak tergulung waktu, dan tidak terulang lagi di kemudian hari. Dan seharusnya dianjurkan oleh para guru sejarah atau guru bahasa Indonesia. Menurut kalian bagaimana?
