Pepaya pertama Kelana. Manis sekali, berbeda dengan makanan hambar yang Ibu selalu jejalkan yang isinya entah apa.
Tertatih-tatih Kelana menghampiri Ayah. Mata Ayah berbinar tak percaya, langkah pertama anaknya tuju arahnya.
Di umur lima tahun Kelana belajar arti kata tenggelam. Ayah dengan sigap menyelamatkan dirinya yang tercebur ke parit yang dalam. Sayang kata itu juga yang memisahkan Kelana dengan Ayah, saat Ayah melaut namun kapalnya tidak pernah pulang.
Menghabiskan masa remaja di Ibukota karena Ibu tidak bisa mencari makan di desa. Seratus ribu setiap minggu Ibu selipkan di bawah bantal busa, buat uang kuliah Kelana katanya. Tak banyak yang berkesan, namun rata-rata Kelana bisa berkata selama sekolah ia cukup bahagia.
Hidup membaik, roda berbalik. Ibu dipercaya orang kaya menjaga tokonya. Ibu amanah, bonus melimpah. Menyicil rumah sendiri, dipakai untuk tempat singgah Kelana dan Ibu berdua. Bertamasya berdua, makan di panti asuhan bersama puluhan yatim lainnya. Kata Ibu, tak semua anak tanpa Ayah seperti Kelana dapat mencicipi kursi universitas ternama.
Kelana lalu bekerja, uang tak jadi masalah namun waktu jadi komoditas berharga. Sabtu Minggu tak selalu berarti waktu bersama karena kantor menjadi rumah kedua. Sesekali menghabiskan saat cuti dan tanggal merah bersama hanya karena Ibu memaksa, memahat kenangan bahagia karena hidup hanya satu kali katanya.
Sudah cukup bernostalgia, Kelana yakin tidak semua memorinya tepat, sebagian mungkin terkaan dan manifestasi tak nyata. Tak yakin ia mengingat masa bayinya walaupun ia tahu pasti tanggal kapan Ayah sudah dinyatakan tak bernyawa. Dengan Ibu yang baru saja dikubur, terkubur pula keinginan hidup Kelana. Sekarang hanya satu kebimbangan Kelana, mau mati di dalam rumah seperti Ibu atau tenggelam di laut seperti Ayah.
Tapi ada yang mengganjal, ada janji yang Kelana buat kepada Ibu saat bercerita tentang Nala. Ibu berfirasat kalau yang ini pantas ditemui dan berharap Kelana menemukan kecocokan nanti. Terlalu sibuk Kelana mengejar harta dan tahta sehingga wanita terlupa. Tak perlu bicara hukum di dalam agama, Kelana mengurungkan niat untuk mencabut nyawa karena harus amanah. Satu-satunya nilai hidup yang ditanamkan Ibu padanya agar bisa bertahan di Jakarta.
“Nala, maaf baru membalas. Ibuku baru saja meninggal. Mari bertemu.”
One thought on “Eps. 3 – Satu Kali (Track 10)”