Sesaat setelah menelpon Ibu dan membatalkan janji dengan wanita yang ia suka, Kelana memalingkan muka dari ponsel dan melihat sekeliling. Sekarang sudah jam 6 sore namun tidak ada satupun koleganya yang memutuskan untuk pulang. Persetan dengan work-life balance, menjadi seorang konsultan di firma ternama tak ubahnya membuat perjanjian darah dengan makhluk yang bernama klien.
“My mom just called me, Steve. She said she wants to go to hospital now.” Kelana melapor kepada manajernya yang berdarah Australia.
“Just go home then, your mom needs you. But, please be noted that you still need to attend tonight’s meeting at 9 sharp.” balas Steve dengan empati namun tetap berharap Kelana untuk membuka Zoom malam nanti.
Riuh doa kolega agar ibunya baik-baik saja mengantar Kelana sampai ke lift. Sejujurnya, tanpa Ibunya yang sedang sakit, ia tetap ragu ia bisa datang menemui Nala malam ini. Permintaan klien sering datang tak terduga yang membuat semua kantor bisa memutuskan lembur di hari yang sama, layaknya sore ini.
Sesi kontemplasi dalam mobil pun kembali dimulai. Dua bulan terakhir sudah Kelana terus mempertanyakan eksistensinya di dunia saat melahap macet Ibukota. Rutinitasnya setahun ini adalah pekerjaan impiannya dua tahun yang lalu. Gaji besar, kerja sesuai keilmuan dan fasilitas beragam ia dapatkan sesaat menandatangani kontrak. Namun semakin ke sini, ia tidak tahu ia mau kemana atau hendak mencari apa. Satu-satunya yang ia tahu, ia harus punya uang banyak agar Ibu bisa sehat dan naik haji bersama-sama.
Telapak tangan Kelana mulai memerah karena klakson yang ia tekan berkali-kali. Rumahnya tidak sampai sepuluh kilometer dari kantor tapi sudah satu setengah jam ia berada di jalan. Ia mulai khawatir karena Ibu sudah tidak menelepon lagi. Biasanya Ibu dengan cerewetnya akan menelpon berkali-kali dan menanyakan kenapa jam 7 malam belum pulang. Tetapi kali ini ponselnya hening, ia dapat maklum bila Nala tidak menghubunginya, karena jelas ia salah sebab membatalkan janji hanya beberapa saat sebelum pertemuan.
Jam delapan malam, Kelana kembali memeriksa ponselnya, Ibu tidak menelepon, itu membuatnya takut. Pesan Nala yang baru masuk pun ia tak sempat baca. Ia selalu berkelakar semua pekerjaan ini akan membahagiakan dirinya dan Ibu, Ibu hanya bisa membalas dengan anggukan dan sesekali berkata bahwa Ibu merindukan Kelana yang bergaji lebih kecil namun jam enam sudah bisa mengimami Ibu untuk salat Maghrib.
Setengah sembilan Kelana datang, Ibu ternyata sudah tidur. Tetapi tidurnya berbeda, ada segurat senyum namun tanpa nadi. Dokter yang datang ke rumah pun sudah memvalidasi. Kelana hanya bisa menangis menjadi-jadi.
Steve meneleponnya berkali-kali, seperti kliennya kecewa Kelana sang project manager tidak menemui di rapat tadi. Namun sayangnya, Kelana jauh lebih kecewa malam ini. Tentang pekerjaan yang tak berkesudahan, Ibu sudah mengingatkan, Kelana sudah mengiyakan, tapi tidak ada perubahan.
Sekarang, Ibu sudah tiada dan Kelana tidak tahu menumpuk uang untuk apa.