Eps. 1 – Nala (Track 7)

“Maaf Nala, hari ini aku harus mengantar Ibu ke rumah sakit. Coba kita atur lagi nanti ya.” Pesan Whatsapp itu muncul saat ia sedang memastikan semua barang sudah masuk ke dalam tas tangannya.

Nala terdiam. Duka menyeruak diiringi adzan Maghrib yang samar berkumandang.
Langit jingga perlahan terkonversi jadi abu-abu. Sama seperti hatinya.

Bisa-bisanya seorang pria yang berkata ingin menjalin hubungan serius dengannya membatalkan pertemuan jam 7 malam nanti. Pesan itu datang hanya sesaat sebelum ia memesan taksi online untuk berangkat ke restoran yang mereka berdua sudah tentukan.

Nala menangis. Bukan karena pria itu, tetapi akumulasi kekecewaan dan kolase gambar masa lalu yang serupa membuat air mata tak henti untuk berhenti. Ia sudah terlanjur menghapus dating apps di ponselnya, ke-4 kali ini, karena berharap pria itu yang terakhir. Namun, layaknya pria-pria sebelumnya, sepertinya yang kali ini kembali bukan yang terakhir.

Nala masih menangis. Masih satu bulan lagi menuju Ramadhan, namun ia sudah membayangkan Lebaran. Bukan, bukan karena ketupat sayur, salat Eid ataupun kebahagiaan lainnya. Cibiran orang yang secara biologis ia sebut saudara lah yang membuat Idul Fitri tidak terasa suci dalam bayangannya. Bertemu maksimal setahun dua kali tapi kata-kata yang keluar dari bibir mereka meninggalkan luka yang bertahan minimal dua tahun.

“Sudah mau tiga puluh tahun kenapa belum menikah?”
“Salah sendiri memilih S2 di luar, kembali ke sini sudah tidak ada yang berani melamar”
“Mau punya banyak uang dan gelar, percuma kalau tidak punya pasangan”
“Yang lain sudah punya anak, kamu kapan?”

Nala sesenggukan. Bukan salahnya bila ia mendapat beasiswa. Bukan salahnya ia memilih tidak pacaran karena aktif di kampus dulu. Bukan salahnya bila ia mendengar beberapa pria tidak percaya diri untuk mendekatinya karena ia cemerlang di tempat kerja. Ia juga mau untuk dicinta, namun kenapa semua seperti salahnya saat ia hanya berusaha menjadi versi terbaik dari dirinya?

Nala menghela nafas dalam di depan kaca. Nampak di depannya wanita cantik dengan mata sembab. Ia mengingat lagi perkenalan awalnya dengan Kelana, pria yang memilih mengantar ibunya ke rumah sakit daripada menepati janji dengan Nala. Ia tersadar kalau Kelana berbeda. Pria itu baik.

Nala pun berpikir kembali. Bagaimana kalau memang urusan Kelana itu genting? Nala tahu kalau pria itu memang hanya tinggal memiliki ibunya dan tentu saja wanita itu akan menjadi yang utama dibanding manusia lainnya. Air mata sedari tadi memang bukan sepenuhnya karena kekecewaannya terhadap Kelana, tapi karena trauma masa lalu dan ketakutan masa depan.

Nala menatap nanar ponselnya. Ia memutuskan untuk memberi usaha lebih kali ini. Sedikit ragu, ia membalas pesan Kelana.

Nala bertanya, “Kapan ada waktu lain lagi?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.