Menyambung tulisan sebelumnya mengenai ujaran-ujaran negatif yang bergema dalam kepala, dalam tulisan kali ini saya mau membagikan buah rasa penasaran saya terhadap inner voice kita. Tentang darimana dan kapan inner voice ini terbentuk serta adakah cara untuk menjinakkan mereka.
Kutipan tersebut sangat relatable untuk saya yang memang sering mengkritisi dan meremehkan kemampuan diri sendiri dengan sangat sadis. Ujaran-ujaran sumbang penuh pesimisme sudah biasa bergema dalam kepala, beberapa kali sehari.
Saya baru pertama kali mendengar senandika. Terdengar sangat indah dan cocok dijadikan nama, begitu pikir saya. Saat membaca definisinya, saya semakin terkejut, ooohh adegan di sinetron saat si tokoh berbicara sendiri itu disebut senandika. Sinetron Indonesia kan memang sudah tersohor dengan senandika yang hiperbolis. Kamera menyorot si tokoh dengan sangat dekat disertai suara latar belakang yang dramatis.
Namun saya sendiri juga rasanya sangat sering bersenandika. Otak saya sering sibuk berbicara sampai saya pesimis bisa bermeditasi karena ketika itu dalam pemahaman saya, saat bermeditasi harus fokus dan mengosongkan pikiran. Duh, mana bisa. Ternyata ada loh orang-orang yang tidak bersenandika atau tidak memiliki inner voice atau internal monologue.