We are our own worst enemy.
Michael Strahan
Kutipan tersebut sangat relatable untuk saya yang memang sering mengkritisi dan meremehkan kemampuan diri sendiri dengan sangat sadis. Ujaran-ujaran sumbang penuh pesimisme sudah biasa bergema dalam kepala, beberapa kali sehari.
Membuat saya merasa tidak berdaya dan tidak berharga. Hal ini menjadi semakin parah setelah saya menjadi ibu dan memutuskan menjadi ibu rumah tangga. I can’t seem to make it go away and need others’ affirmation from time to time, at least and the most important is from my husband.
“Aku tidak bisa jadi ibu yang baik, ibu yang selalu sabar dan bahagia menemani anak setiap saat.”
“Di rumah tidak produktif, tidak menghasilkan uang, sama anak juga enggak sabaran. Kamu bisanya apa sih?”
“Masak enggak bisa, beresin rumah seadanya, padahal anak cuma satu, masih juga enggak produktif di bidang lain. Coba lihat ibu-ibu lain, bisa membesarkan banyak anak sambil kerja, ngurus online shop atau berkarya.”
Ujaran-ujaran di atas sangat sering bergema dalam kepala. Even in the worst days, membuat saya tidak bersemangat melakukan banyak hal dan berpikir, “what’s the point of all this?“

Saya yakin saya tidak sendirian dalam hal ini, karena menurut sebuah penelitian, kita berbicara pada diri kita sendiri dengan kecepatan yang setara dengan 4000 kata per menit. Di satu sisi ini adalah berkah karena kita diberi kemampuan untuk melakukan introspeksi. Tetapi di sisi lain, senandika ini bisa menjadi semakin intens dan bagai kutukan ketika kita mengalami kesulitan karena daripada membangun dan introspeksi, monolog ini berubah menjadi sesuatu yang bisa menyabotase diri sendiri(1).
Lalu apa yang harus dilakukan untuk meredam ujaran-ujaran negatif yang terus menggema di kepala kita? Ethan Kross, seorang neuroscientist yang telah melakukan banyak penelitian terkait inner voice, menyebutkan beberapa hal yang intinya adalah berusaha memberi diri kita perspektif yang berbeda terhadap hal yang kita alami atau pikirkan, misalnya:
- Distanced self-talk
Berbicara pada diri sendiri dari sudut pandang orang kedua atau ketiga, misal:
“Ita, ini biasa terjadi, you’ll be fine, you can do it.” Hal ini bisa memberikan efek menenangkan dan merupakan cara paling cepat dan efektif memberikan perspektif emosional yang lain bagi diri kita. - The power of touch
Memegang seseorang yang kita sayang untuk menenangkan diri. - The power of nature
Memeluk pohon atau berjalan-jalan di luar sambil menikmati keindahan alam. - Kegiatan yang menimbulkan rasa kagum
Berkunjung ke tempat dengan pemandangan indah, melihat lukisan atau karya seni yang mengagumkan. - Menulis jurnal
Menulis jurnal membantu kita mengubah kejadian saat ini yang bagai tragedi jadi komedi di masa depan, dan tentu saja membantu kita reframing serta memberi perspektif baru mengenai emosi yang kita alami. - Bebenah
Bebenah memberikan sense of order pada diri kita karena kita berhasil “menciptakan” keteraturan di luar diri kita dan bisa mempengaruhi dalam diri kita juga.
Kesimpulannya, inner voice ini bisa menjadi kutukan sekaligus anugerah tergantung strategi kita ketika suara-suara ini terus bergema.
Your harshest critic is always going to be yourself. Don’t ignore that critic but don’t give it more attention than it deserves.
Michael Ian Black
Jadi, ujaran seperti apa yang bergema di kepala dan benak teman-teman sepanjang hari?
#Writober2021
#RBMIPJakarta
#IbuProfesionalJakarta
#Gema
Referensi:
Cooke, Rachel (2021). Why your most important relationship is with your inner voice. Diakses dari https://www.theguardian.com/science/2021/jan/16/inner-voice-self-criticism-psychologist-ethan-kross-chatter-voice-head
Featured Image: Photo by Ana Flávia on Unsplash
Haghghh selalu bernas tulisanmu… Aku jg suka ngerasa gini nih, semangat maaaak