Di tulisan sebelumnya saya membahas mengenai bagian pertama dari buku \”Cinta yang Berpikir\” karya Ellen Kristi yang memaparkan filosofi-filosofi pendidikan Charlotte Mason. Di tulisan kedua ini saya akan membahas bagian kedua dan ketiga dari buku tersebut. Awalnya kedua tulisan ini saya publish menjadi satu blog post tapi karena terlalu panjang dan takut membuat bosan dan bingung yang membaca dan supaya postingan blog jadi banyak, saya pisah menjadi dua bagian. Anyway, selamat membaca
Bagian Kedua
Bagian kedua merupakan paparan kurikulum, dikemas dalam format tanya jawab, seperti FAQ (Frequently Asked Questions), yang menurut saya sangat enak dibaca daripada bentuk deskripsi yang panjang lebar, karena bagi orang awam seperti saya yang baru berkenalan dengan CM seringkali yang terjadi adalah you don\’t know what you don\’t know, jadi pertanyaan-pertanyaan ini bisa jadi guide buat menggali lebih dalam aplikasi filosofi CM. Bagian ini memuat \’mata pelajaran\’ apa saja yang ditawarkan oleh metode CM dan bagaimana mengajarkannya, di antaranya adalah narasi, membaca, menulis, tata bahasa, sejarah, pendidikan agama, hasta karya, kewarganegaraan, sastra dan puisi, bahasa asing, musik dan seni, sains, matematika dan logika, pedidikan jasmani serta keterampilan praktis.
Sebenarnya \’mata pelajaran\’ yang ditawarkan ini mirip dengan yang saya dapatkan dulu. Tetapi membaca tiap bab di bagian ini rasanya saya sering lost in thoughts alias melamun membayangkan praktiknya tuh gimana sih karena masih abstrak banget. Metode ini begitu asing, sangat jauh berbeda dengan cara saya belajar di sekolah dulu. Jadi menurut saya, bagian ini paling enak dibaca kalau sudah mulai praktik atau sambil hands-on gitu.
Hal lain yang saya suka dari buku ini adalah penulis menyertakan banyak lampiran yang terdiri dari sumber-sumber lain untuk mempelajari metode CM, contoh-contoh living books yang direkomendasikan, serta ringkasan butir-butir filosofi metode CM. Sumber-sumber lain yang dimaksud termasuk di dalamnya grup Facebook juga blog para praktisi CM. Very thoughtful. 🙂
Metode CM vs Montessori
Balik lagi ke topik Montessori, buku ini memaparkan perbandingan antara metode CM dengan Montessori dan beberapa metode lain. Namun karena sejak awal saya tertarik dengan metode Montessori maka saya hanya fokus pada sub-bab ini saja. Penulis buku ini membandingkan tiap metode dari tujuan atau visi pendidikan, bagaimana metode ini memandang seorang anak sumber pengetahuan dan lingkungan belajar yang digunakan.
Menurut sang penulis, metode CM dan Montessori sama-sama melihat anak sebagai pribadi yang utuh dan memiliki banyak potensi, bukan gelas kosong yang menunggu untuk diisi, sehingga orang dewasa harus menaruh respek dan rasa percaya pada anak-anak. Namun dari segi tujuan pendidikan keduanya sangat berbeda. Metode CM menitikberatkan pada education of the mind dan bertujuan akhir karakter yang luhur. proses pendidikan ini dinilai tetap berlangsung walaupun anak sudah beranjak dewasa.
Sedangkan metode Montessori bertujuan membentuk \’normalisasi\’ atau pendewasaan kepribadian yaitu ketika seorang anak yang awalnya hidupnya tidak teratur bisa hidup harmonis dengan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, nilai yang diprioritaskan oleh metode ini adalah kemandirian dan kepercayaan yang menurut Montessori harusnya sudah selesai ketika anak berusia 18 tahun.
Metode Montessori juga sangat mengandalkan pengalaman sensori sebagai sumber pengetahuan karena itu kegiatannya banyak menggunakan alat peraga secara intensif, dan latihan sensoris. Buku-buku dan ide-ide insipiratif sebagai nutrisi bagi akal budi tidak terlalu ditekankan. Hal ini sangat berbeda dengan metode CM yang menitikberatkan pendidikan pada akal budi (mind). Latihan indra dan otot pada dasarnya adalah training bukan pendidikan (education) dan menurut Mason tidak bisa membangun karakter.
Perbedaan lain yang sangat signifikan adalah metode CM menganjurkan orang tua mengekspos anak pada atmosfer alami di kehidupan dan permainan sehari-hari di rumah atau alam terbuka. Sedangkan Montessori cenderung merekayasa atmosfer menjadi lingkungan yang berpusat pada anak dan menggunakan bantuan berbagai alat peraga. Montessori juga tidak mendukung anak membaca dongeng atau belajar benda-benda dari ilustrasi atau gambar karena anak-anak harus bisa membedakan mana yang nyata dan imajiner. Padahal metode CM mengganggap hal tersebut adalah elemen penting untuk memperkaya manusia yang sejatinya bersifat spiritual.
Saya rasa, tidak ada yang salah dan benar dari kedua metode ini semuanya tergantung dari tujuan pendidikan yang kita tetapkan untuk anak. Kayaknya kalau mau digabung pun tidak masalah, asalkan menurut penulis buku ini, kita paham secara filosofis metode yang digunakan sehingga bisa menerapkan metodenya sesuai dengan kondisi masing-masing. Bukan langsung plek nyontek metodenya tapi bingung ini tujuannya buat apa, atau bingung karena susah diaplikasikan dengan persis di keluarga. Amati (dan pelajari), tiru, modifikasi, gitu deh kurang lebih. 🙂
Jadi, PR saya selanjutnya adalah belajar soal metode Montessori dari praktisinya. Karena yang saya jelaskan di sini merupakan opini dari praktisi metode lain yang tentu saja bias hehe so it\’s very likely that my explanation here did not do Montessori any justice. I\’ll write another post once I finished reading a book(s) about Montessori method, insyaAllah.