Selama ini pendidikan anak usia dini dengan metode Montessori sangat santer terdengar. Sekolah anak usia dini, workshop bagi orang tua, buku-buku, bahkan mainan-mainan anak yang dibuat berdasarkan filosofi Montessori sangat mudah dijumpai. Makanya saya juga jadi penasaran dan kepo dengan metode ini dan berbagai metode pendidikan lain. Eeh tapi belum juga belajar soal Montessori, waktu berkunjung ke Rimba Baca, saya malah menemukan buku tentang metode Charlotte Mason (CM). Wah, apa lagi tuh?
Bukunya berjudul \”Cinta yang Berpikir – Sebuah Manual Pendidikan Karakter Charlotte Mason\”, buku ini ditulis oleh Ellen Kristi yang mendidik anaknya dengan cara homeschooling menggunakan metode CM. Membaca judulnya saya langsung tertarik, karena memang sudah berkecamuk dalam pikiran bagaimana mencintai anak tanpa terlalu memanjakannya, bagaimana menarik batas antara mencintai Aiza dan mendisiplinkan dia juga sejauh mana otoritas orang tua terhadap anak. Maka tanpa pikir panjang saya langsung meminjam buku ini.
Buku ini merupakan semacam ringkasan dan intisari dari buku-buku Charlotte Mason yang terdiri dari enam buah buku tebal. Menurut penulis buku ini, mungkin tidak semua orang bisa membaca enam buah buku tebal berbahasa Inggris, apalagi dengan gaya bahasa yang begitu filosofis, terlebih lagi bukunya kebanyakan ditulis di abad 19. Maka buku ini bisa membantu orang-orang awam kayak saya ini mengenal metode dan pemikiran-pemikiran Charlotte Mason dalam mendidik anak.
Buku ini dibagi menjadi 3 bagian, bagian I membahas filosofi-filosofi metode CM, bagian II menggambarkan kurikulum dan bagian III berisi perbandingan antara metode CM dengan metode-metode lain.
Bagian Pertama
Bagian pertama merupakan bagian yang paling saya suka. Awalnya saya pikir akan sangat membosankan membaca hal-hal filosofis soal pendidikan anak, namun ternyata saya dibuat terkesima dengan pemikiran-pemikiran Charlotte Mason. Bahkan gara-gara membaca buku ini sempat terpikir untuk homeschooling Aiza saja hahaha karena menurut saya filosofi metode ini sangat brilian tapi mungkin tidak terakomodasi oleh sistem pendidikan Indonesia sekarang. Ah, tapi itu urusan belakangan, karena visi pendidikan Aiza pun belum dirumuskan betul-betul oleh saya dan suami.
Otoritas Orang Tua
Dari buku ini saya mendapat gambaran mengenai jawaban pertanyaan saya di atas mengenai otoritas orang tua. Charlotte percaya bahwa setiap anak lahir sebagai pribadi utuh yang memiliki potensi baik dan buruk, bukan kertas kosong yang menunggu diisi, oleh karena itu penting bagi orang tua menunjukkan otoritas, namun dibatasi oleh respek terhadap anak sebagai individu yang unik. Charlotte menyebutnya principle-centered parenting, artinya otoritas yang dimiliki orang tua bukan pembenaran dari sikap semaunya orang tua, melainkan bertujuan membimbing dan mencegah anak dari kesalahan, orang tua juga harus patuh pada aturan benar dan salah yang sama sehingga anak patuh dengan sukarela.
Orang tua dianggap melanggar batas otoritas jika memanipulasi rasa takut bahkan rasa cinta pada orang tua agar anaknya patuh, seperti kalimat-kalimat yang dicontohkan penulis bukunya: \”Kalau kamu engga nurut, mama engga sayang lagi sama kamu.\”; \”Kalau kamu sayang sama Mama nurut dong.\”; \”Mama turuti keinginan kamu kalau kamu mau nurut.\” Huaa kalimat-kalimat ini begitu sering terdengar dari mulut orang tua, bahkan saya pun pernah beberapa kali melakukannya, memanipulasi keinginan anak biar anak patuh seperti contoh kalimat terakhir. Semoga setelah tahu ilmunya lebih mindful lagi ketika menegur Aiza.
Terkait dengan otoritas orang tua dan respek pada anak sebagai pribadi yang utuh, ada prinsip dari metode CM yang sangat menarik bagi saya yaitu seni menyingkir atau masterly inactivity. Maksudnya, orang tua harus membiarkan anak mengeksplorasi lingkungan dan dunianya, tanpa diricuhkan dengan ambisi dan kecemasan berlebihan orang tua. Kita menyajikan kurikulum yang kaya dan penunjang untuk mereka belajar namun biarkan anak-anak menentukan sendiri pace dan memecahkan sendiri masalah mereka hingga mereka meminta bantuan, intinya Charlotte Mason mengecam gaya pengasuhan helicopter parenting dimana orang tua terlalu banyak mengatur dan melarang anak ini-itu.
Wise and purposeful letting alone is the best part of education
– Charlotte Mason
Filosofi Pendidikan Keluarga
Mengenai pendidikan, Charlotte menekankan orang tua untuk bisa menjawab tiga pertanyaan penting berikut jika ingin mengambil tanggung jawab penuh pendidikan anaknya:
- Mengapa anak perlu belajar?
- Apa yang perlu ia pelajari?
- Bagaimana seharusnya mempelajari itu?
Pertanyaan-pertanyaan ini yang nantinya menjadi guide merumuskan metode pendidikan yang dipilih bagi anak, yaitu tujuan akhir serta prinsip-prinsip yang menjadi pegangan dalam mencapai tujuan. Prinsip-prinsip ini harus luwes, tidak kaku seperti sistem, sehingga orang tua bisa melihat berbagai situasi keseharian sebagai kesempatan mendidik, dan anak berada dalam proses pendidikan sepanjang waktu. Bagi saya hal ini sangat relevan terutama bagi anak pra-sekolah yang belum tersentuh sistem pendidikan yang dirancang pemerintah. Lagi-lagi saya diingatkan untuk lebih mindful dalam keseharian dengan Aiza.
Instrumen Pendidikan Metode CM
Seperti gambar yang saya cantumkan sebagai featured image, nyawa dari metode CM ini adalah instrumen yang digunakan yaitu atmosfer, disiplin, dan kehidupan. Maksudnya, Charlotte menyarankan untuk menggunakan atmosfer alamiah anak sebagai sarana mendidik, melalui lingkungan sekitar dan keseharian oleh karena itu metode CM ini juga sangat menekankan pembentukan kebiasaan-kebiasaan baik sebagai bagian dari pendidikan (disiplin) serta paparan terhadap ide-ide besar.
Pembentukan Kebiasaan
Pendidikan adalah disiplin, yang dimaksud dengan disiplin di sini adalah menerapkan kebiasaan-kebiasaan baik pada anak. Quotes dari Charlotte Mason di bawah ini sangat mengena untuk saya, karena saya mengalami membentuk kebiasaan anak itu butuh kesabaran tingkat tinggi, konsisten dan persisten. Contohnya adalah membiasakan Aiza untuk sikat gigi sehabis sarapan dan sebelum tidur. Namun setelah kebiasaan ini terbentuk rasanya hidup tenang, senang, sulitnya membentuk kebiasaan ini pun jadi terlupa.
The mother who takes pains to endow her children with good habits secures for herself smooth and easy days.
– Charlotte Mason
Charlotte Mason menyebutkan ada enam mental habits yang perlu digalakkan:
- Attention
- Application
- Thinking
- Imagining
- Recollecting/remembering
- Perfect Execution
Penjelasan detail mengenai pembiasaan ini bisa ditemukan di beberapa sumber berikut, pemaparannya cukup rinci dan disertai contoh cara menerapkannya:
Di antara kebiasaan tersebut yang paling \’mengganggu\’ saya adalah habit of perfect execution. As a perfectionist I learnt that aiming for perfection did more harm than good for me. Oleh karena itu saya awalnya tidak terlalu menyukai ide ini. Tetapi setelah saya baca lagi dari berbagai sumber, yang dimaksud dengan perfect execution di sini adalah melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya, do your best very single time, bukan kesempurnaan dari hasil akhir. Hal ini diterapkan dalam segala aspek kehidupan anak sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya saat itu.
Living Books
Istilah living books saya rasa hanya ada di metode CM, dan instrumen ini digunakan untuk mengakomodasi kebutuhan spiritual dan pikiran anak-anak akan ide dan hal-hal imajinatif yang menggugah intelektualitas mereka. I was intrigued, karena ternyata punya kebiasaan membaca saja tidak cukup. Kita harus bisa menyajikan bahan bacaan berkualitas yang masuk dalam deskripsi living books ini.
Children are born with all the curiosity they will ever need. It will last a lifetime if they are fed upon a daily diet of ideas.
– Charlotte Mason
Penulis buku ini menjelaskan ciri living books adalah buku yang narasinya menarik, menawarkan berbagai ide dan pesan moral yang berbobot, serta tidak meremehkan intelektualitas anak dengan menggunakan kata-kata yang terlalu sederhana dan tidak berselera, sehingga ketika dibaca oleh orang dewasa pun buku-buku ini sangat menarik.
Lalu bagaimana caranya kita membedakan mana living books dan bukan? Penulis menganalogikan hal ini dengan kecintaan seseorang pada kopi; jika seseorang menyukai dan sudah mencoba berbagai macam kopi tentu bisa membedakan kopi berkualitas dari rasa dan aromanya. Sehingga, untuk mengasah kemampuan seleksi buku, kita juga harus sering membaca buku. Tapi jangan khawatir, sudah ada kok daftar rekomendasi living books untuk setiap jenjang pendidikan walaupun kebanyakan masih buku berbahasa Inggris. Silakan cek lama CM Indonesia untuk perkembangan daftar living books berbahasa Indonesia yang katanya sedang dalam proses penyusunan.
Charlotte juga menekankan untuk membaca buku-buku ini dengan teknik slow reading dan hanya satu kali berapapun waktu yang dibutuhkan, hal ini untuk menerapkan habit of attention dan diharapkan anak membentuk relasi yang lebih dalam dan mencerna ide dari buku dengan lebih baik. Namun, anak diperbolehkan membaca beberapa buku secara paralel.
Sebenarnya ada sekitar 20 butir filosofi yang dirangkum di buku ini, akan tetapi yang saya tulis di sini hanya bagian-bagian yang paling mengena untuk saya dan ingin saya ingat-ingat. Kalau ingin tahu lebih detail silakan baca bukunya atau kunjungi website CM Indonesia yaa hehe 😀
Part 1 tulisan ini cukup sampai di sini dulu, Part 2 akan membahas tentang bagian kedua dan ketiga buku yaitu paparan kurikulum dan perbandingan metode CM dan metode lain.
Waah makasi bu rangkumannya. Saya masih mengawang-ngawang soalnya kalau tentang Charlotte mason. Belum baca bukunya soalnya T_T
waah senangnya ada yang terbantu dengan rangkuman ini. saya pun belum belajar metode lain, baca mengenai metode CM pun karena kebetulan ada bukunya di perpustakaan. bukunya cukup ringan dan menarik dibaca kok, tapi kalau mengunjungi website CMIndonesia pun banyak informasi yang bisa digali.