Setelah sebelumnya berkunjung ke Jatiluwih dan Bedugul, petualangan road trip kami berlanjut ke Pantai Lovina dan Danau Batur di Kintamani, dan diakhiri dengan makan di Big Garden Corner daerah Sanur.
Pantai Lovina
Suasana Lovina dan Hotelnya
Setelah melewati jalur Gitgit yang membuat ketar-ketir, akhirnya kami sampai di Lovina menjelang maghrib. Kami sudah memesan hotel terlebih dahulu, namanya Hotel Rini. Hotelnya hanya berjarak 5 menit dari pantai.
Hotel ini sepertinya dikelola oleh keluarga dan memiliki desain dan dekorasi yang jadul, tapi terasa homy. Meskipun terlihat agak kuno, fasilitasnya cukup lengkap. Terdapat kolam renang untuk anak-anak dan dewasa yang dilengkapi sun bed, shower, dan kamar mandi. Tak jauh dari kolam renang ada restoran.
Hotel ini cukup luas dan memiliki banyak tipe kamar. Suasananya asri dan tenang. Pokoknya sangat nyaman dan cocok untuk menginap bersama keluarga karena bentuk kamarnya seperti cottage atau villa mini, bukan seperti kamar kos-kosan. Sarapan yang disajikan juga enak, meskipun porsinya kecil jika dibandingkan dengan porsi makanan di Bali pada umumnya.
Kami memesan jasa kapal untuk melihat lumba-lumba juga melalui hotel. Tujuannya biar praktis dan tidak perlu tawar-menawar harga dengan pemilik kapal, karena harga yang ditawarkan pun cukup terjangkau, yaitu 75 ribu untuk orang dewasa, sedangkan Aiza masih gratis. Harga yang kami bayarkan adalah untuk pulang-pergi ke tengah laut, dengan estimasi durasi 2 jam, dari jam 6-8 pagi.
Di hari pertama kedatangan kami di Lovina, karena sudah terlalu sore, suasananya sangaaat sepi. Kami berniat makan malam di restoran dengan ulasan Google yang bagus, tetapi naas, setelah menempuh jarak 1 km ternyata, restoran yang kami tuju baru saja buka setelah tutup selama 2 tahun karena pandemi. Sehingga menu yang ditawarkan sangat sedikit.
Awalnya saya berekspektasi bisa makan seafood, tapi akhirnya hanya makan mie goreng dan nasi goreng huhu. Kecewa sekaligus miris sih rasanya, apalagi membayangkan kesulitan pemilik restoran yang harus tutup karena pandemi.
Melihat Lumba-lumba
Pukul 6 pagi kami sudah dijemput oleh pemilik kapal. Di pantai sudah ada dua orang penumpang lain yang akan naik bersama kami. Setelah dari Nusa Penida, saya agak khawatir mengajak lagi Aiza untuk naik kapal. Alhamdulillah perjalanannya kondusif, Aiza juga anteng dan tidak mual.
Aiza juga cukup antusias untuk “mencari” lumba-lumba walau dia agak kesulitan melihat dengan jelas karena mereka bergerak dengan cepat dan hanya muncul di permukaan selama beberapa detik saja.
Awalnya kami mengira hanya sedikit kapal yang berangkat karena pengunjung sedang sepi, tapi ternyata memang sistemnya demikian. Para pemilik kapal sudah membuat kesepakatan untuk berangkat bersama-sama dari berbagai penjuru, siapa yang menemukan kawanan lumba-lumba terlebih dahulu langsung memberitahu yang lain. Sehingga akhirnya kami berkumpul di spot yang sama saat sudah di tengah laut.
Pemilik kapal yang kami tumpangi ini tidak terlalu ambis hehe. Jadi ketika ada lumba-lumba muncul, dia tidak langsung tancap gas untuk mendekati, tidak seperti kapal-kapal lain. Alasannya cukup masuk akal, kata beliau, lumba-lumba itu sensitif terhadap suara, jadi kalau kita mengebut dan berisik dia justru akan langsung menyelam lagi. Oleh karena itu kami tidak terlalu keberatan karena kami ingin melihat lumba-lumba di habitat alaminya dengan gangguan seminimal mungkin pada para lumba-lumba.
Walaupun kami tidak sempat melihat lumba-lumba dari jarak yang sangat dekat, kami senang karena bisa mengajak Aiza melihatnya di habitat asli. Perjalanannya juga sama sekali tidak buruk karena pemandangannya sangat cantik. Kami bisa melihat pegunungan juga ganggang yang berkelap-kelip di dasar laut.
Di sini juga sebenarnya ada taman laut dimana kita bisa melihat keindahan terumbu karang hanya dari atas kapal. Tetapi karena kami harus melanjutkan perjalanan dan Aiza sudah mulai tidak betah kami memutuskan untuk langsung ke hotel setelah melihat lumba-lumba.
Ada tips dari pemilik kapal yang kami tumpangi. Katanya kita bisa mencoba melihat lumba-lumba lewat dari jam 8, sehingga lebih sepi. Karena sesungguhnya lumba-lumba bisa dilihat anytime of the day. Biasanya turis asing melakukan ini agar lebih tenang dan lebih enjoying the moment, meskipun probabilitas langsung bertemu lumba-lumba lebih kecil daripada pergi beramai-ramai.
Selesai melihat lumba-lumba kami sarapan di hotel dan menyempatkan untuk berenang sebentar sebelum melanjutkan perjalanan untuk glamping di Danau Batur, Kintamani.
Kintamani, Trunyan, Danau Batur
Perjalanan Menuju Kintamani
Untuk sampai di Kintamani kami lagi-lagi harus melewati jalan menanjak dan berkelok. Ditambah lagi kami beberapa kali diguyur hujan dan cuacanya sangat dingin huhu. Sempat khawatir Aiza akan rewel, tetapi alhamdulillah dia anteng meskipun dia cukup banyak terbangun selama 2 jam perjalanan. Aiza bahkan menggerak-gerakan kaki sambil bernyanyi-nyanyi. Ibu terharu dan ikut merasa terhibur walaupun perjalanannya sangat tidak nyaman.
Meskipun perjalanannya kurang nyaman, tetapi terbayarkan oleh pemandangan yang masyaAllah indah sekali. Breathtaking tuh benar adanya, sampai kami berdua spontan berteriak “BAGUS BANGET!” ketika Gunung Batur mulai terlihat. Rasanya rewarding sekali melakukan perjalanan ini.
Star Lake Glamping
Sudah sejak lama saya bercita-cita ingin glamping atau glamorous camping. Saya orangnya tidak suka camping, tetapi kalau glamping mungkin lebih bearable karena setidaknya kamar mandi terjamin dan tendanya pasti dilengkapi kasur empuk haha. Memang manja aja ini mah anaknya.
Berdasarkan riset ulasan Google dan rekomendasi teman, kami memutuskan untuk menghabiskan malam di Star Lake Glamping. Letaknya tepat di pinggir Danau Batur dan berhadapan dengan Gunung Batur.
Untuk mencapai tempat Star Lake ini cukup menantang karena letaknya cukup jauh, masuuuk ke area Batur Geological Park. Jalanannya juga curam dan licin karena diguyur hujan. Penanda pintu masuknya pun kecil, sehingga kami harus menelepon pengelolanya untuk bisa sampai.
Tempat glampingnya sangat bagus, tenda juga cukup terawat. Ada kamar mandi dengan hot shower dan kompor serta alat masak dan makan yang cukup. Kami diberi 1 ikat kayu untuk membuat api unggun juga bisa memilih antara sarapan atau ikan mujair bakar sebanyak 1 kg. Kami memilih ikan mujair bakar untuk makan malam. Kami mendapat 3 ekor mujair yang dimasak oleh staff. Kita juga bisa memilih untuk masak sendiri jika mau dan bisa haha.
Di sana jauh dari warung atau minimarket, sehingga kami meminta tolong staffnya untuk membelikan kami mie instan, telur, dan nasi untuk sarapan dan tambahan menu makan malam.
Oh iya kami memilih tenda yang besar, tenda safari. Di dalamnya ada 1 kasur double bed dan single bed, lampu, meja, juga bantal dan selimut. Meskipun ada banyak perabotan di dalam, area tendanya masih cukup luas untuk menaruh tas dan barang-barang kami. Pokoknya nyaman, walaupun cuacanya sangat dingin.
Keesokan harinya kami main dan berfoto di sekitar danau. Aiza dan Ibu memberi makan ikan mujair, sementara Ayah berenang di danau. Aiza sempat menangis karena tidak boleh ikut berenang sama Ayah di danau. Ayah tidak izinkan berenang karena tidak yakin cukup aman buat Aiza, meskipun pakai life vest. Tetapi dia cukup happy sih kasih makan ikan-ikan di depan tenda, lalu main gelembung juga yang kami beli di Bedugul.
Akomodasi ini ada di AirBnB juga tetapi ternyata lebih murah kalau sewa dengan menghubungi langsung melalui WhatsApp ke nomor yang tercantum di Instagram dan Gmaps. Overall, tempat ini recommended buat menghabiskan liburan. Bahkan Star Lake Glamping ini juga jadi pilihan Cinta Laura untuk menghabiskan malam tahun baru loh hahaha.
Penutup
Tanggal 31 Desember kami pulang ke Denpasar dan menutup perjalanan kami dengan mengunjungi Big Garden Corner di daerah Sanur. We had a feast, setelah selama perjalanan kami lebih sering makan nasi goreng, mie goreng, dan mie instan. Bukan maksud berhemat tetapi memang itu yang kerap kami temui selama perjalanan hehehe.
Alhamdulillah meski badan remuk redam, benar-benar pengalaman yang mengesankan dan menyenangkan. Menjelajah Bali bersama batita ternyata masih feasible kami lakukan. Untungnya Aiza juga senang bertualang dan tidak rewel meskipun berada di tempat yang asing. MasyaAllah walhamdulillah.
One thought on “Road Trip Bali Bersama Balita (Bagian 2)”