My Thoughts on Marlina: the Murderer in Four Acts

Tulisan ini mungkin sudah basi karena baru ditulis dan dipublikasikan sekarang, padahal saya sudah menonton film ini bulan November tahun 2017 dan sekarang sudah tidak tayang di bioskop. Tapi, film ini sebegitu berkesannya buat saya, hingga saya tidak bisa lupa sensasi saat menonton film ini. Spoiler alert! Bagi yang ingin menonton tapi belum kesampaian, sebaiknya jangan baca pos ini dulu.

Saya bukan termasuk orang yang suka menonton film lokal di bioskop, film lokal yang pernah saya tonton langsung di bioskop sepertinya masih bisa dihitung jari karena dulu saya pikir, \”Ah, nanti juga tayang di RCTI.\” Tapi, film Marlina ini saya sudah dengar woro-woronya dari seorang teman saat masih di Newcastle dan saat saya melihat trailernya, saya terpesona dengan keindahan alam dan keunikan cerita yang ditawarkan. Namun, ketika itu saya masih biasa saja, tidak terlalu ngebet nonton.

Ternyata film Marlina baru rilis ketika kami sudah sampai di Indonesia. Jadilah saya merengek meminta ke suami untuk diajak nonton Marlina di bioskop belum lama setelah film itu rilis. Kami menonton berempat dengan 2 orang teman lainnya, dan ternyata kursi bioskop lumayan terisi penuh. Saya tidak mengira animonya sebesar ini.

Film garapan Mouly Surya ini bercerita tentang perampokan dan pemerkosaan yang dialami seorang janda bernama Marlina yang hidup sebatang kara di rumahnya yang jauh dari keramaian. Di suatu pagi Marlina dikunjungi oleh Markus, ketua gerombolan perampokan. Markus datang sendirian dan mengumumkan bahwa dirinya akan merampok dan \’tidur\’ dengannya bersama dengan 6 orang kawannya yang lain. Seluruh kejadian dalam film ini sepertinya hanya terjadi selama sehari semalam dengan alur film yang amat lambat.

Kebayang gak sih, gimana rasanya kalau ada di posisi Marlina? Kalau saya mungkin sudah nangis atau lari terbirit-birit cari bantuan. Marlina juga terlihat takut dan panik, tapi tetap berusaha cool di depan Markus (bahkan di sepanjang film!). Dia berusaha menelepon mencari bantuan tapi tak kunjung ada yang menjawab teleponnya dari ujung sana, entah siapa pula yang ia telepon. At last, she came up with her own solution, put poisonous fruit in the chicken soup they asked her to make. But, not every thing went according to her plan. She was raped by Markus, hence she killed him with her hands using his own weapon. Totally bad-ass scene.

\"marlina0803a\"

I can go on and on tell the story in details but it will be boring, so in summary, this movie revolved around women, stigma and myths surrounding them. It also clearly depicted how vulnerable yet strong women can be. There were three women figures in the movie, Marlina, Novi, and an old lady whose name I forgot :(.

\"marlina_01\"

Hal yang membuat saya suka dengan film ini adalah, walaupun timelinenya cukup singkat, tapi terlihat ada perkembangan karakter yang cukup signifikan, terutama Novi, dan tentu saja Marlina. Tapi menurut saya, tokoh Novi ini sangat menarik, karena kehadiran Novi yang gemar nyeletuk dan bercerita tiada henti ini, cukup memberikan suasana berbeda. Melalui celetukan dan curcolnya ke Marlina inilah sang sutradara menyinggung mitos dan stigma yang berkaitan dengan wanita. Pada awal film, tokoh Novi ini seperti ibu rumah tangga biasa, yang tampak lemah dan penakut, namun di akhir film justru memiliki peran sangat penting.

\"Marlina-bookmyshow-indonesia-e1510730991305\"

Sebenarnya alur film ini sangat sederhana, dan tidak bisa dibilang memiliki unsur novelty apalagi jika dibandingkan dengan film Hollywood. Namun, penggarapannya sangat apik, dan agak mengingatkan saya dengan sejenis film-film artistik yang umumnya menonjolkan sinematografi dan alurnya bagaikan puisi yang belum tentu mudah dipahami semua orang. However, I could not breathe normally throughout the movie because the plot was going soooo slow which added the tense and thrill to this movie, like I kept waiting something to happen, whether good or bad. Ketika ada adegan pemerkosaan pun, saya betul-betul merasa jijik walaupun adegannya tidak vulgar. Intinya, saya yang jarang menonton film karya sineas Indonesia ini begitu terpukau dengan film Marlina karena aspek visual dan sensasi yang ditimbulkan oleh film ini saat menontonnya.

Faktor lain yang bikin saya jatuh hati sama film ini adalah karena tokoh utamanya wanita yang strong. Film ini juga disutradarai oleh wanita. Jadi ibaratnya, film ini dari wanita, oleh wanita, untuk wanita (dan pria juga sih). Ditambah lagi, isu kesetaraan gender belakangan ini memang semakin santer, film-film Hollywood yang bertema woman empowerment juga sedang sangat melejit, bukan hanya di layar lebar tapi di serial televisi pun saya merasa tema seperti itu mulai banyak ditonjolkan terutama di negara barat sana. Jadi saya senang karena ada film Indonesia yang senada.

Selain itu, setelah saya membaca beberapa artikel, saya baru tahu kalau film ini ternyata digarap dengan pendanaan yang berasal dari beberapa lembaga film internasional dan kompetisi, sehingga telah melalui banyak proses brainstorming dan revisi. Makanya tidak heran kalau film ini benar-benar apik dan memberi kesan yang berbeda dari film Indonesia yang pernah saya tonton sebelumnya, walaupun harus diakui khazanah perfilman Indonesia saya sangat minim, but you guys got the idea, right? hahaha.

Intinya, setelah menonton film Marlina ini saya jadi bangga dengan sineas Indonesia dan sangat terpesona dengan keindahan alam Indonesia. Selain itu, saya juga menyambut baik film-film dengan tokoh utama wanita dengan karakter yang kuat, bukan seperti yang sering digambarkan di sinetron-sinetron layar kaca, tertindas, gemar bergunjing, dan hanya bisa menangis. Yaa, mungkin tidak seekstrim itu sih kayanya, tapi menurut saya sama sekali tidak bisa jadi panutan anak-anak dan sesama wanita juga. Semoga di masa depan semakin banyak film Indonesia yang bertemakan woman empowerment dengan tokoh utama wanita yang inspiratif.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.