Maternity Journey (1) : The Ups, Downs and Learned Lessons

Kisah kehamilan setiap orang itu selalu unik, jangankan membandingkan kisah kehamilan antar wanita, kisah kehamilan anak pertama dan kedua pun bisa sangat jauh berbeda. Masa-masa hamil Aiza pun unik walaupun tidak istimewa karena di luar sana pasti banyak ibu lain yang mengalami hal yang kurang lebih mirip atau bahkan lebih berat. Jadi, sebenarnya tidak ada yang terlalu spesial dari tulisan ini selain untuk dibaca ulang dan berbagi pengalaman buat memberi gambaran bagi yang belum menikah dan hamil, atau bisa jadi pelipur lara buat yang sedang hamil atau sudah melahirkan bahwa kalian enggak sendiri, tetapi semoga bisa diambil manfaatnya. Aku berusaha menulis cerita ini sedetail mungkin oleh karena itu tulisan ini akan dibagi jadi 2 bagian agar tidak bosan saat membacanya.

Kehamilan pertama ini, meskipun aku agak malu mengakuinya, merupakan kehamilan yang tidak direncanakan bahkan bisa dibilang kecolongan. Aku sempat mengonsumsi pil KB selama studi karena merasa tidak sanggup kalau hamil sambil kuliah dan memang sejak awal sudah sepakat dengan suami ingin menunda kehamilan. Setelah pulang pun sebenarnya tidak ingin langsung memiliki anak karena ingin fokus meniti karir dan mengamalkan ilmu yang didapat. Selain itu, kami berdua juga masih sangat menikmati waktu berduaan dan keleluasaan untuk bepergian berdua saja. Bahkan kami sempat membicarakan untuk tidak memiliki anak sama sekali, karena kami sangat menikmati masa-masa pacaran setelah menikah. Kami sampai bercanda mengatakan ‘kita adopsi kucing aja yuk, enggak usah punya anak.’

Tadinya kami berniat untuk meneruskan menggunakan kontrasepsi. Tapi, banyak, buanyaaak selentingan dari orang-orang sekitar yang bilang, ‘ih, pake pil KB gak takut rahimnya kering?’; ‘nanti susah loh punya anak, udah gak usah minum pil KB lagi.’ Serta berbagai ujaran lain yang senada. Meskipun sering berkata sambil bercanda tidak ingin punya anak, tapi hati kecilku ketakutan dengan selentingan-selentingan tersebut dan ada perasaan ingin punya anak di usia masih muda. Oleh karena itu akhirnya aku meminta izin pada suami untuk berhenti mengonsumsi pil KB. Suami setuju dan ketika itu keyakinan kami adalah jika memang sudah saatnya pasti diberi, kalau belum waktunya ya tidak akan dititipkan amanah besar, lagipula banyak orang yang sampai jungkir balik ingin punya anak, jadi sepertinya akan ada jeda cukup lama sejak berhenti mengonsumsi pil KB hingga masa subur kembali.

Tetapi ternyata kami salah besar, manusia hanya bisa berencana dan berspekulasi tapi Allah yang paling kuasa atas segala sesuatu. Semua dugaan dan spekulasi kami (dan banyak orang lain) terbantahkan. Dua bulan setelah berhenti mengonsumsi pil KB aku melakukan tes kehamilan dengan test pack dan hasilnya positif. Awalnya aku juga tidak menyangka, keterlambatan siklus haid aku kira akibat baru lepas dari pil KB dan perut yang membuncit adalah akibat kalap makan dan jajan karena rindu masakan kampung halaman setelah setahun tinggal di rantau. Aku bahkan sempat bermain Pump It Up dengan intens 2 hari sebelum melakukan tes kehamilan dengan harapan kalori terbakar dan perut mengecil, padahal saat itu aku sudah hamil 1 bulan.

\"line_1514338805316.jpg\"

Saat melihat hasil tes kehamilan aku enggak tahu harus berkata apa, aku mengucap Alhamdulillah tapi sesungguhnya hati tidak benar-benar bersyukur, aku kaget sekaget-kagetnya, merasa tidak siap, dan kecewa pada diri sendiri kenapa termakan ketakutan tak beralasan dan memutuskan berhenti minum pil KB. Saat memberi tahu suami pun dia tersenyum dengan ekspresi yang sulit dibaca maknanya, kami berpelukan dan sama-sama bilang, “I have mixed feelings about this.” Aku sangat mengerti, karena di satu sisi ini adalah anugerah, namun di sisi lain kami belum siap, ditambah lagi ketika itu kami berdua masih belum memiliki sumber penghasilan dan masih bergantung pada tabungan kami.

Berita kehamilan ini hanya kami sebarkan ke orang-orang terdekat, kami tidak update di media sosial apapun, kami baru memberitahu atau menceritakan soal kehamilan ini jika memang bertemu langsung dan ditanya soal kehamilan. Kami menyepakati hal ini dengan dalih supaya surprise, atau pamali. Tapi setelah direnungkan kembali, alasanku melakukan itu mungkin karena dalam hati masih ada perasaan denial bahwa aku sedang hamil dan akan segera menjadi ibu. Bahkan saat sedih atau stress ada momen saat aku berkata dalam hati “I don’t want this baby.” Astaghfirullah. Aku belum menerima kenyataan bahwa aku hamil dan aku sedih serta kecewa pada diri sendiri karena bisa begitu durhaka dan tega mengatakan tidak menginginkan amanah yang banyak dinantikan pasangan yang sudah menikah.

Trimester pertama kehamilan berjalan lancar, aku enggak mengalami muntah-muntah, hanya sedikit mual dan kehilangan nafsu makan terutama pada daging. Tapi aku enggak mengalami ngidam yang aneh-aneh atau gejala kehamilan yang berat. Namun aku masih belum berdamai dengan diri sendiri dan masih kecewa karena harus berhenti mencari pekerjaan dan meniti karir karena hamil. Pokoknya selama trimester pertama ini aku mengalami mood swing yang cukup parah. Meskipun demikian aku tetap berusaha mempersiapkan kehamilan dengan baik, aku banyak membaca buku dan artikel tentang kehamilan juga parenting, serta rajin memantau akun-akun Instagram untuk orang tua dengan tujuan memberdayakan diri.

Trimester kedua mood swing sudah semakin berkurang, dan aku merasa lebih bisa menerima kehadiran bayi dalam perut. Akupun mulai berolahraga, senam hamil sehabis sholat subuh jika sedang mood, mendengarkan audio hypnobirthing, memperdengarkan musik klasik dan murottal pada janin, dsb. Pada trimester dua ini juga aku melakukan perjalanan, bisa dibilang baby moon walaupun pergi bersama 2 orang teman baik kami, ke Belitung, mumpung masih bisa bepergian jauh, pikir kami.

Perjalanan berjalan lancar, tidak ada keluhan sama sekali walaupun bidan wanti-wanti jangan sampai terlalu lelah, bahkan membekali dengan obat kalau-kalau mengalami kontraksi karena kelelahan atau akibat naik pesawat. Selama babymoon ini kami melakukan perjalanan ke beberapa pantai dengan perahu, bahkan melakukan snorkeling. Tidak ada keluhan berarti selain sakit kepala setelah snorkeling, namun membaik setelah minum banyak air putih dan makan. Tetapi setelahnya aku mengalami gejala flu dan benar saja sepulang dari perjalanan aku flu selama 2 minggu. Pada kondisi normal biasanya kesehatanku bisa membaik atau sembuh total kurang dari seminggu, namun karena selama hamil tidak bisa minum obat flu dan istirahat kurang nyenyak, ditambah sistem imun memang menurun, flu menjadi sangat menyiksa dan lebih lama sembuh.

Setelah sembuh, aku kembali tertular flu dari keponakan yang sedang flu juga, tapi kali ini disertai dengan batuk. Tapi setelah flunya sembuh, batuknya tidak hilang, bahkan hingga aku melahirkan. Jadi, aku menghabiskan trimester 2 dan trimester 3 dengan ditemani batuk yang semakin parah di malam hari. Menurut beberapa sumber yang aku baca dan keterangan teman-teman di support group ibu hamil ITB Motherhood, batuk berkepanjangan saat hamil ternyata sangat umum terjadi dan memang baru akan hilang setelah kehamilan berakhir.

Pada trimester 2 ini cukup banyak hal terjadi. Ucapan bahwa setiap anak memiliki rejekinya masing-masing memang benar adanya. Akhir April aku mengerjakan suatu proyek dari game developer Malaysia kenalan teman baikku. Aku membuat konten untuk game trivia, selain itu aku juga menjadi tutor kelas online modul Speaking IELTS, walaupun penghasilannya tidak seberapa, tapi sangat melegakan karena ada sumber penghasilan dan mengurangi stres serta mood swing. Tidak lama berselang, suami diterima bekerja 2 perusahaan sekaligus namun beliau memilih bekerja di konsultan energi, sesuai dengan keinginan dan bidangnya. It was such a great blessing, ditambah lagi perusahaan memberikan fasilitas tunjangan melahirkan, hal ini semakin meyakinkan kami bahwa ini adalah rejeki si bayi.

Kecemasan finansial berkurang karena suami memiliki pekerjaan, serta adanya kesibukan yang menghasilkan membuat mood swing berkurang drastis, Aku pun lebih bersyukur dengan keadaan dan mulai dengan tulus mencintai bayi dalam kandungan serta semakin getol memberdayakan diri. Kami berdua mulai mencari nama bagi calon bayi, sejak awal menikah sebenarnya kami sudah memiliki nama yang kami sukai tapi belum memikirkan nama lengkap dari calon bayi ini. Saat mencari nama, kami tidak membutuhkan waktu lama untuk memantapkan pilihan kami jika anak kami adalah laki-laki, namun kami sangat kesulitan menemukan nama anak perempuan.

Kami berdua sangat menyukai nama tersebut, hingga tanpa disadari aku sangat menginginkan bayi ini bergender laki-laki. Ditambah lagi semasa hamil banyak yang bilang sepertinya aku hamil anak laki-laki jika dilihat dari bentuk perut dan kebiasaanku. Hingga tiba saatnya kami kontrol bulanan saat usia kehamilan 6 bulan. Dokter dengan yakin mengatakan hasil USG menunjukkan bahwa anak kami perempuan, aku lagi-lagi merasa kecewa. Kecewa karena ekspektasi tidak terpenuhi dan kecewa pada diri sendiri mengapa lagi-lagi tidak mensyukuri ketetapan Allah. Sambil menangis aku mengutarakan kekecewaan pada suami, namun beliau menenangkan tanpa menghakimi, katanya ia pun sempat kecewa, namun apapun jenis kelaminnya nanti yang penting sehat dan selamat. Akhirnya aku pun bisa lebih legowo dan kembali berdamai dan memaafkan diri sendiri.

Saat trimester 3, keluhan kehamilan bukannya berkurang malah makin banyak bermunculan, tapi cerita selengkapnya dan cerita tentang proses kelahiran akan dilanjutkan di pos selanjutnya. Tapi intinya dari kehamilan ini aku belajar bahwa perencanaan matang itu sangat penting dan harus belajar untuk tidak menghiraukan ujaran yang tidak memiliki dasar yang kuat serta fokus pada keinginan dan rencana diri dan pasangan, tidak perlu terlalu memikirkan pendapat orang. Aku juga harus lebih yakin bahwa Allah tahu yang terbaik, tugas kita hanya berencana dan berusaha, jika saat itu aku mendapatkan pekerjaan dan karir yang baik, mungkin aku enggan memiliki anak dan hanya fokus pada karir. Setelah diingat-ingat kembali, dulu aku pernah mengatakan ingin menikah di usia 24 tahun dan mempunyai anak di usia 26 tahun, ternyata ucapan ini didengar oleh Allah dan menurut Allah adalah yang terbaik. Aku juga menyadari menjadi seorang ibu tidaklah mudah, perjuangannya luar biasa, oleh karena itu harus dipersiapkan dengan baik. Berkat kehamilan ini juga aku makin sering teringat pada mamah dan sering curhat pada beliau dan tentu saja semakin sayang. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.