Komunikasi Saja Tidak Cukup

Hal yang paling penting dalam suatu hubungan adalah komunikasi. Pernyataan ini mungkin sudah tidak asing bahkan terdengar klise karena yaaa… semua orang juga udah tau keles… Komunikasinya tuh yang kaya gimana? Kalau ujung-ujungnya malah berantem apa iya bisa langgeng?

Hal ini juga sempat terbersit dalam pikiran saya loh. Ah, daripada memicu pertengkaran atau keributan mending disimpan rapat-rapat saja segala unek-unek dan keluh kesah. Dulu saya menghindari melakukan percakapan-percakapan sulit. Tentu saja ini tidak berakhir baik, malah sangat rentan berujung pada ledakan amarah dan tangisan hehehe.

Jika dihitung sejak pacaran, saya dan suami sudah menjalani hubungan lebih dari satu dekade. Kami sudah mengalami berbagai dinamika dan fase kedewasaan masing-masing. Ada masanya kami sangat kekanakan dan toksik. Kalau diingat-ingat kembali benar-benar membuat kami malu sendiri.

“Ih, kok bisa sih kita kaya gitu?”

“Ya ampun, kok kamu mau sih tetap sama aku?”

“Bisa-bisanya dulu aku bilang kaya gitu ke kamu, maaf yaa…”

Itu adalah ucapan yang beberapa kali kami lontarkan ketika bernostalgia. Alhamdulillah seiring berjalannya waktu kami merasa semakin dewasa dan bertumbuh, bukan cuma bertambah tua bersama.

Perubahan yang paling saya rasakan adalah saya dan suami bisa lebih bersabar dan mengenali emosi, juga gestur dan cue emosi masing-masing. Meskipun begitu metode kami berbeda. Suami lebih suka mengutarakan langsung unek-unek dan kekesalannya sebelum menumpuk dan meledak. Sedangkan saya lebih suka mengatakannya kalau hati dan keadaan sudah tenang.

We pick our battle and timing, but we both choose to talk things through.

Meskipun metodenya berbeda, hal ini malah membawa kebaikan bagi kami berdua karena yang terpenting terjadi komunikasi yang kondusif. Perbedaan bukan jadi kendala atau pemicu keretakan hubungan.

Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

Perbedaan Bukan Tersangka Utama

Banyaknya perbedaan tidak selalu menjadi batu sandungan dari suatu hubungan. Melainkan perasaan tidak didengar dan diabaikan lah yang menyebabkan hubungan renggang. Demikianlah yang dijelaskan oleh artikel The School of Life.

Betapa kesepian dan menyedihkannya ketika mengkomunikasikan perbedaan pendapat tapi tidak didengar sama sekali. Hal ini sama saja seperti kita tidak dianggap atau tidak terlihat.

Perbedaan yang dimaksud juga bukan hanya soal hal-hal besar seperti keputusan finansial atau cara mendidik anak. Namun hal-hal sederhana seperti bagaimana menghabiskan waktu liburan atau akhir pekan. All things can add up.

Pada akhirnya, kita tidak butuh pasangan yang selalu menyetujui apapun perkataan kita, tetapi kita butuh pasangan yang mau mengerti dan menghargai pendapat dan pandangan kita sekecil apapun itu.

Kutipan dari artikel yang saya baca ini bisa merangkum intisari dari paragraf-paragraf di atas:

‘I understand’ is the phrase that could single-handedly rescue more long-term relationships than any number of anniversary celebrations or therapy sessions; it deserves to be known as the most romantic phrase in existence.

Hal tersebut senada dengan apa yang suami (dan saya) yakini. Menurut suami saya, hal yang terpenting bukan cuma soal komunikasi, tetapi juga empati. Kalau komunikasi yang dimaksud hanya melontarkan kekesalan dan keluhan tetapi tidak mau mendengar pasangan tentu saja ujungnya berkelahi.

Berkomunikasi dengan empati kalau versi hubungan kami adalah bukan mendengarkan untuk membantah atau membela diri, tetapi introspeksi dan mencoba mengerti isi hati, baik pasangan maupun diri sendiri.

Hal itu termasuk sangat sulit bagi saya yang sering defensif dan sulit menerima kritik. At the back of my mind, I always have reasons for things I do. Yaiyalah, semua orang juga begitu, cuma kalau yang kita niatkan diterimanya berbeda oleh orang lain, kan di luar kuasa kita dan tetap harus evaluasi diri. Namun sedikit demi sedikit saya (kayanya) sudah bisa lebih menerima dan berdiskusi tanpa jadi defensif.

Photo by taylor hernandez on Unsplash

Persamaan yang Dibutuhkan

Terkait perbedaan dan persamaan juga dibahas dalam artikel yang ditulis oleh Eric Barker. Dia mewawancarai Jonah Lehrer, penulis buku A Book About Love yang ditulis berdasarkan berbagai hasil penelitian.

Dalam artikel tersebut dipaparkan bahwa banyaknya perbedaan tidak menjadi penyebab perpisahan. Banyaknya kemiripan juga tidak menjamin kelanggengan hubungan kecuali kemiripan dalam hal persepsi dan pengelolaan emosi, atau sering disebut meta-emosi. Intinya persamaan dalam apa yang dirasakan tentang perasaan.

Misalnya apakah kemarahan harus dipendam dan ditutupi? Apakah kesedihan harus disembunyikan sedangkan kebahagiaan harus selalu diekspresikan?

Sejujurnya saya dan suami tidak langsung kompatibel dalam hal ini, tetapi semakin lama kami semakin tahu pola dan pandangan masing-masing soal perasaan dan sama-sama menyesuaikan.

Beberapa poin lain yang disebutkan dalam artikel tersebut tentang hubungan yang langgeng adalah:

  1. Berdebat lebih baik daripada tidak berkomunikasi sama sekali
    Perdebatan adalah hal wajar dan normal. Tidak ada hubungan yang tanpa masalah. Namun menurut saya, balik lagi ke poin di paragraf awal, yang terpenting berkomunikasi dengan empati.
  2. Hubungan membutuhkan kerja keras.
    Ada hal menarik mengenai poin ini. Orang yang “menemukan” pasangan diawali dengan cinta, memiliki ilusi bahwa hubungan akan baik-baik saja karena mereka memiliki cinta. Seperti kisah dongeng. Namun orang yang menikah karena perjodohan tidak memiliki ilusi itu dan menyadari sejak awal bahwa hubungan ini akan berhasil jika mereka berusaha. Namun bukan berarti orang menikah karena cinta tidak bisa langgeng, poinnya adalah mau berusaha dan bekerja keras dalam hubungan.
  3. Dibutuhkan GRIT dalam hubungan. Grit itu apa? Maksudnya adalah motivasi dan daya juang tinggi untuk mencapai tujuan jangka panjang. Sama seperti poin nomor 2, ketika merasa mempertahankan hubungan tidak mudah, kita tidak menyerah.
    “Love lasts but it doesn’t last by itself. It’s not magic. It lasts because we can make it last, because we keep putting in the work.”
  4. Pandangan terhadap tantangan.
    Pasangan yang cenderung hanya mengeluhkan kesulitan yang dihadapi dalam pernikahan, tapi tidak bisa melihat hikmah dibalik kesulitan tersebut sangat mungkin tidak akan bertahan. Interpretasi dari kesulitan adalah yang terpenting. Jika pasangan bisa memandang kesulitan yang mereka hadapi dalam konteks yang positif or even glorify the struggle, ini bisa menjadi indikator keberhasilan hubungan.

Setiap pasangan memiliki ujiannya masing-masing dan tentu saja resep kebahagiaan masing-masing. Apa yang saya alami dan baca dalam kedua artikel tersebut juga tidak berarti berlaku bagi semua pasangan. Namun saya tetap percaya, berbekal pedoman “yang penting komunikasi” tidak cukup untuk mempertahankan hubungan jika tidak dibekali ilmu tentang emosi dan kemauan untuk mengerti.

Disclaimer: 

Saya bukan konselor pernikahan, psikolog, atau ahli komunikasi. Pernikahan saya pun bukannya tanpa diuji dan dijamin bertahan sampai mati. Saya menulis ini hanya berdasarkan pengalaman pribadi dan membaca beberapa referensi. Tidak ada maksud menggurui atau menasihati, hanya ingin berbagi. Semoga berkenan di hati. Jika ada masukan lagi, dengan senang hati saya mau diskusi, silakan tinggalkan komentar di bawah ini.  😆😆😆

Referensi:

Barker, Eric. 2016. “How to Make a Relationship Last: 5 Secrets Backed by Research.”  https://time.com/4366236/relationship-secrets-research/ Diakses pada 15 Maret 2022

The School of Life. “WHY SOME COUPLES LAST — AND SOME DON’T” https://www.theschooloflife.com/thebookoflife/why-some-couples-last-and-some-dont/ Diakses pada 15 Maret 2022

Featured Image: Photo by Drew Coffman on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.