Setelah dewasa dan berkeluarga saya baru tahu bahwa hari raya tidak sesederhana yang saya kira. Mengatur jadwal kumpul keluarga, mengalokasikan tunjangan hari raya, membeli dan mengirimkan bingkisan ke sahabat dan sanak saudara, belum lagi kue juga hidangan yang akan disajikan untuk semua.
Ini belum apa-apa karena saya tidak memiliki asisten rumah tangga. Kalau ada asisten, beda lagi dramanya. Mulai dari kegalauan menentukan besaran tunjangan sampai soal kepulangan dan kembalinya mereka. Syukur-syukur kalau betah dan kembali. Kalau memutuskan menetap di kampung, ya harus mencari asisten lagi.
Setiap keluarga juga punya budaya dan tradisi masing-masing. Bagi yang sudah berkeluarga, tentu memiliki banyak cerita hari raya dibaliknya. Seperti keluarga saya yang menikah dengan seorang pria Betawi. Betawi tulen dengan budaya yang masih sangat kental. Semua keluarga berkumpul di satu lingkungan rumah yang sama.
Rupanya kalau kebiasaan di keluarganya, silaturahmi keluarga besar sangat dijunjung tinggi. Sehingga jadwal hari raya pun padat merayap bahkan hingga H+5 lebaran. Totalnya ada sekitar 70 rumah yang dikunjungi, dan yang lebih muda diharuskan memberikan buah tangan ke 70 rumah yang dikunjungi itu.
Adanya tradisi kunjungan ke tiap rumah ini juga membuat ada tekanan untuk memiliki baju baru setiap tahunnya. Paling tidak untuk anak-anak, katanya, karena setiap tahun bertemu dan foto bersama. Saya yang introver langsung agak shock membayangkannya hehe. Namun mungkin itu yang membuat hari raya jadi unik dan dinanti, karena ada “seni”-nya.
Begitupun keluarga Bapak mertua, biasanya ada giliran berkumpul di rumah untuk makan dan berdoa bersama. Biaya pembuatan makanan ditanggung bersama, dipukul rata 100 ribu per kepala keluarga, jadi yang masih lajang tidak perlu membayar. Dari uang urunan itu juga dibuat paket-paket sembako untuk dibagikan.
Hal ini berbeda dengan kebiasaan di keluarga saya, karena Mamah saya hanya 4 bersaudara jadi kumpul keluarga pun tidak sebanyak itu orangnya. Kami juga tidak pernah berkeliling menemui keluarga besar karena memang tempat tinggalnya berjauhan. Sejak pandemi pun keluarga saya jadi tidak terlalu “ambis” memaksakan harus kumpul semua di satu tempat. Kadang berdatangan di hari yang berbeda, tetapi biasanya berkumpul di tempat almarhumah Nenek saya berada.
Namun tahun ini berbeda dan sedikit bingung karena tahun ini Nenek sudah tidak bersama kami lagi. Jadi bingung akan berkumpul dimana, di Jakarta di rumah Uwa, atau di Bandung di rumah Mamah. Sementara saya pasti berlebaran hari pertama di rumah mertua, karena tahun lalu di rumah Mamah.
Kalau untuk saya pribadi, karena beberapa kali lebaran tidak berkumpul karena pandemi, saya merasa tidak berkumpul semua pun tidak masalah. Silaturahmi masih bisa terjalin, dan masih bisa bermaaf-maafan. Suasananya tentu akan berbeda, karena kondisinya pun saat ini sudah berbeda.
Tidak bertemu bukan berarti tidak dekat, tidak bertemu bukan berarti tidak saling bermaafan. Tidak bertemu bukan berarti saling melupakan dan melemahkan silaturahmi. Biarlah jauh di mata tetapi tetap dekat di hati dan doa.
Semua orang pasti ada struggle-nya masing-masing di hari raya ini. Semua orang juga punya versi hari raya-nya sendiri, pasti sudah dipersiapkan dari jauh-jauh hari, meski tidak selalu mewah dan meriah yang penting semarak di hati. Akhir kata, selamat Idulfitri 1443 H, mohon maaf lahir dan batin.