“Aku benci energi terbarukan. Ayahku mati karenanya”
Dengan enggan aku mengucapkan salam kepada Ibu untuk pergi ke sekolah. Hari ini aku menemani murid-muridku untuk mengunjungi museum yang didedikasikan untuk pengembangan sektor energi di Indonesia. Setiap mendengar cerita dari Ibu, aku tak pernah paham mengapa sebegitu inginnya Ayah merubah Indonesia untuk memiliki porsi yang lebih besar untuk energi bersih.
Ketika aku kecil, mata ayahku selalu berbinar saat berbicara tentang masa depan Indonesia. Sejak dia menuntut ilmu di salah satu negara Skandinavia, ia sering merasa Indonesia sedang menyia-nyiakan potensinya. Solar irradiance yang mumpuni, potensi geothermal yang besar, Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) yang bisa dibangun di berbagai tempat, dan banyak istilah yang aku tidak mengerti tapi Ayah menceritakan dengan penuh semangat seakan aku adalah dosen pembimbingnya.
“Nanti suatu hari Dina pasti mengerti kenapa Ayah secinta ini dengan energi terbarukan” ucapnya sambil mengelus kepalaku dengan lembut. Aku hanya mengangguk dalam kebingungan.
Aku ingat saat waktu baru masuk SMP, Ayah sempat menggerutu lalu berbicara sendiri saat menonton TV. Tingkah Ayah sangat aneh waktu itu. Kata Ibu, Ayah sedih kenapa Indonesia kembali gagal untuk memenuhi target energi terbarukannya, yang berimbas kepada janji pengurangan emisi kepada dunia pada saat itu, tahun 2030. Aku kembali mengangguk dalam kebingungan.
Lamunanku terpecah, tak terasa memori itu sudah terjadi 20 tahun lalu. Aku sekarang sudah menjadi seorang guru Bahasa Inggris yang tak mau ikut campur masalah perkembangan negara ini. Berbeda dengan Ayah, aku tak akan ambil pusing kemana Indonesia akan melangkah. Melihat murid-muridku menikmati dan mempelajari sesuatu saat aku mengajar saja sudah membuatku bahagia. Namun apes saja, tahun ini aku ditunjuk kepala sekolah menjadi penanggung jawab karyawisata kali ini.
Kamipun sampai di museum dan seorang pemandu menghampiri kami dengan antusias. Lelaki paruh baya itu menyapa kami dengan semangat.
“Selamat datang Ibu Dina dan adik-adik, saya Pak Dedi dan saya akan menemani kalian hari ini untuk menyusuri perkembangan energi dan menceritakan bagaimana Indonesia berhasil memanfaatkan potensinya secara maksimal. Mari kita mulai dengan sejarah energi terbarukan yang akan membuat kalian kaget!”
Aku terperangah, bukan hanya Bapak ini memiliki nama yang sama dengan Ayah, akan tetapi antusiasmenya saat menjelaskan tentang energi terbarukan juga sama. Murid-muridku pun seperti tersihir dan mengekor kepadanya dalam sekejap.
“Di tahun ini, 2050, Indonesia berhasil menancapkan rekor dengan memiliki bauran energi terbarukan 50% dari total konsumsi energi kita. Kalau misal dulu di tahun 2021 ada yang bilang hal ini, Bapak pasti akan tertawa.” ucapnya sambil terbahak-bahak.
“Dulu, waktu kalian belum lahir, Indonesia selalu gagal memenuhi target energi terbarukannya. 23% saja terasa jauh sekali dipenuhi di tahun 2025 [1], sampai akhirnya di tahun 2030, pihak dunia menegur Indonesia cukup keras karena peran energi terbarukan dalam pemenuhan National Determined Contribution (NDC) dinilai tidak signifikan.”
Aku mengingat-ingat, itu yang Ayah gerutukan saat menonton TV dulu. Titik balik dimana Ayah memutuskan untuk masuk dunia politik agar energi Indonesia bisa lebih bersih. Aku menghela nafas, naif sekali beliau.
Tapi aku kembali mencerna ucapan Pak Dedi, “Indonesia berhasil punya 50% bauran energi terbarukan? Besar sekali dong dibanding target seharusnya?”
“Daripada bingung mendengar fakta-fakta yang mungkin kalian sulit cerna, sekarang mari kita langsung tinjau penggunaan energi di Indonesia saat ini ya! Setuju?” Tanya Pak Dedi dengan lantang.
Murid-muridku kompak mengangguk. Aku sedikit iri, jarang sekali mereka mau menurut seperti itu kalau sedang dikelasku. Entah mereka benar-benar tertarik dengan energi terbarukan atau tenggelam dalam semangat Pak Dedi, aku tak yakin.
“Mulai dari energi fosil, minyak dan batubara semakin sempit utilisasinya sekarang. Pengembangan yang cukup pesat dari Bahan Bakar Nabati (BBN) memastikan minyak bumi hanya berfokus sebagai campuran bahan bakar sebagian segmen kendaraan. Di lain sisi, jangan harap pembangkit listrik berbahan bakar minyak bumi masih ada yang mendapat tempat di Indonesia.”
“Untuk batubara, investor memegang peran penting dalam menahan laju pembangunan pembangkit listrik yang menggunakan sumber energi ini. Mereka sudah tidak mau mendanai Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) secara total dan hanya mau membantu PLTU untuk bertransformasi menggunakan pelet kayu sebagai bahan bakarnya. Di sisi lain, hutan-hutan untuk memproduksi bahan baku bioenergi pun dikelola dengan bertanggung jawab.” Pak Dedi menjelaskan lalu membiarkan anak-anak bertanya.
“Namun bagaimana dengan gas alam Pak? Bukannya itu termasuk sumber energi fosil juga?” Tanya salah satu muridku.
“Pertanyaan bagus! Gas alam adalah satu-satunya bahan bakar fosil yang ditambah porsi penggunaanya karena perannya yang penting dalam transisi energi di Indonesia. Ia adalah energi fosil dengan emisi terendah dan Indonesia masih mempunyai cadangan gas yang dapat difokuskan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Pemerintah berhasil mengkonversi hampir Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang menggunakan minyak bumi dengan gas alam dan sering juga menjadi hybrid power system bersama panel surya ataupun PLTMH. Dan yang terpenting, pipa gas benar-benar terintegrasi sampai ke jaringan gas kota sehingga ibu kalian bisa memasak dengan mudah di rumah maupun dengan jalur pipa virtual menggunakan kapal pengangkut Liquefied Natural Gas (LNG) untuk memenuhi kebutuhan sektor industri, komersial dan transportasi di seluruh penjuru Indonesia. Dengan fungsi penuh namun minim emisi, tidak heran Indonesia mempertahankan bauran gas alam di angka 30% ketika minyak bumi dan batubara masing-masing hanya 10%.”
“Lalu, bagaimana dengan energi terbarukan Pak?” Tanpa sadar mulutku bertanya. Ia membuatku tak bisa menunggu untuk segera memberi tahu bagaimana kondisi energi terbarukan di tahun 2050 ini.
“Setelah tahun 2030, berbagai jenis energi terbarukan mengalami jalannya masing-masing untuk berkembang secara agresif. Layaknya Vietnam di akhir tahun 2020 yang berhasil memasang total kapasitas 16.5 GW Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) [2], Indonesia sukses meniru kebijakan Vietnam untuk diterapkan mulai dari harga beli listrik yang kompetitif dan berbagai insentif yang diberikan pemerintah berhasil membuat tiap rumah, gedung dan industri akan merasa ketinggalan zaman bila atapnya tidak dipasang panel surya.” Pak Dedi menjelaskan sambil tersenyum kepadaku.
“Di sisi lain, pembangkit geothermal semakin menjamur seiring meningkatnya investor yang berani mengambil resiko untuk menanamkan uangnya pada sumber energi ini. Hal tersebut dapat terjadi karena pemerintah menjamin untuk kepastian masuknya setiap proyek geothermal dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik(RUPTL) sehingga keekonomiannya terjamin.” Lanjut Pak Dedi.
“Lalu, seperti yang dijelaskan sebelumnya, biomassa menjadi penopang utama dalam substitusi bahan bakar fosil mulai dari pelet kayu pengganti batubara sampai biofuel yang menggantikan peran minyak bumi. Kalau tenaga hidro, tentu terus dimanfaatkan mulai dari skala besar sampai skala mikro. Semua diutilisasi maksimal untuk mencapai rasio elektrifikasi 100% yang benar-benar menyala dari pagi sampai malam. Bukan hanya sekadar statistik seperti dulu, HAHAHA.” gelak Pak Dedi yang aku yakin sebagian besar muridku tidak mengerti arti dari tawanya.
Selanjutnya, Pak Dedi menjelaskan lebih detail lagi mengenai utilisasi tenaga angin di beberapa titik di Indonesia, transmisi listrik yang sudah terhubung antar pulau dengan kabel bawah laut, sampai penggunaan teknologi tercanggih untuk memastikan hampir seluruh rumah dan bangunan di Indonesia memiliki tingkat efisiensi energi yang tinggi.
Aku yang dari membenci kunjungan ini karena takut traumaku tumbuh, malah menjadi bersemangat mengikuti tur yang dipandu oleh beliau. Setelah beberapa lama, akhirnya beliau berhenti di depan sebuah monumen di sisi lain museum.
“Akhirnya, tur museum hari ini harus kita sudahi. Sebelum sampai ke akhir acara, Bapak ingin bertanya, menurut kalian apa faktor utama yang membuat Indonesia berhasil menekan penggunaan minyak dan batubara, mengoptimalkan gas serta mengakselerasi energi terbarukan dengan cepat?”
Murid-muridku berebutan untuk menjawab. Ada yang berkata investasi yang mudah, teknologi yang semakin canggih, rakyat yang semakin teredukasi dan lainnya. Karena terlalu riuh, Pak Dedi menaruh telunjuk di depan mulutnya sebagai gestur untuk menyuruh murid-murid diam.
“Semua yang kalian tebak itu benar. Namun menurut Bapak, yang faktor utamanya adalah perbedaan sikap pemerintah dalam pengembangan energi terbarukan. Sebelum tahun 2030, sudah banyak kok investasi yang mau masuk, sudah banyak kok teknologi canggih yang siap bersaing dengan energi fosil. Namun nyatanya, ketidak konsistenan pemerintah dari masa jabatan ke jabatan selanjutnya membuat energi terbarukan berjalan di tempat. Listrik murah menjadi senjata politik partai untuk tetap memilih mereka sembari tetap memberi dukungan kepada pebisnis batubara untuk terus menggali bumi Nusantara.”
“Revolusi energi terbarukan lalu terjadi saat seorang anggota dewan tak berhenti mengajukan sebuah arah baru untuk sektor energi di Indonesia. Ia mengamandemen Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menjadi jauh lebih tepat sasaran dengan mengikuti saran implementasi dari para ahli. Kehebatannya pun membawanya menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kinerjanya selama 9 tahun jabatan benar-benar terbaik, ia menteri yang jujur dan tidak pernah memperkaya diri. Semua kekayaannya ia sumbangkan untuk melistriki daerah-daerah terpencil. Sayang, ia harus meninggal dalam kecelakaan pesawat saat mengunjungi salah satu kampung di NTT untuk mengecek proyek pembangunan PLTS.“
Air mataku tiba-tiba mengalir deras. Tidak dapat terbendung. Perlahan suara sesenggukanku mulai menarik perhatian murid-muridku. Aku kenal orang yang ia ceritakan. Sangat kenal.
“Ibu guru kenapa menangis?”
“Memang sesedih itu ya cerita Pak Dedi?”
“Ibu guru kenal dengan orang yang diceritakan”
Murid-muridku berebutan bertanya dan aku hanya bisa mengangguk lemas. Pak Dedi pun menghampiriku dan tersenyum. “Dina, saya kenal dengan ayahmu. Dia adalah orang terbaik yang saya kenal. Tanpa beliau, mungkin sektor energi Indonesia tak akan semaju sekarang. Ia boleh sudah tak ada di dunia, tapi warisannya akan dikenang di hati jutaan masyarakat Indonesia, termasuk saya.”
Aku pun diajak untuk melihat monumen yang harusnya sedari tadi ia jelaskan. Disitu terpampang jelas nama ayahku dan ratusan pesan dari staff Ayah, menteri lain, dan bahkan pemimpin dunia yang memuji bagaimana kejujuran dan ketegasan Ayah bisa membawa Indonesia melebihi target bauran energinya.
Aku pun terdiam sembari mengusap mataku yang basah. Pak Dedi pun memberikanku spidol permanen yang sepertinya ia telah siapkan untukku sejak pertama aku datang. Ia menunjuk sebuah ruang kosong di bagian bawah monumen tersebut untukku menulis pesan. Sambil menunduk aku pun mulai menulis.
“Ayah, aku tak benci energi terbarukan. Kau hidup selamanya karenanya”
Referensi
[1] A. Deon et al., “Indonesia Energy Transition Outlook 2021,” pp. 1–93, 2021.
[2] T. N. Do and P. J. Burke, “Vietnam’s Solar Power Boom: Policy Implications for Other ASEAN Member States,” 2021. https://www.iseas.edu.sg/articles-commentaries/iseas-perspective/2021-28-vietnams-solar-power-boom-policy-implications-for-other-asean-member-states-by-thang-nam-do-and-paul-j-burke/.